[url=http://gickr.com][img]http://gickr.com/results4/anim_841f3f9a-558c-aa44-d103-f880b2294145.gif[

Minggu, 15 Mei 2011

usaha mandiri: Suruh Tani Penangkar Bibit Mangga dan Jeruk

usaha mandiri: Suruh Tani Penangkar Bibit Mangga dan Jeruk

Suruh Tani Penangkar Bibit Mangga dan Jeruk

 Suruh Tani Penangkar Bibit Mangga dan Jeruk.
Desa Lemahbang Kecamatan Pasrepan Kabupaten Pasuruan Jawa Timur.
Menjual aneka ragam hasi tani Bibit Mangga dan Jeruk. Siap melayani dalam bentuk partai besar maupun kecil
Untuk informasi lebih lengkap hubungi Bpk. Muchtar. No Hp. 085855400744 d/a Lemahbang Pasrepan Pasuruan. Jawa Timur

Jenis Bibit Mangga Arum Manis & Manalagi
Bibit Mangga ukuran 50 - 60 cm perbatang Rp. 2000,-
Bibit Mangga ukuran 70 - 80 cm perbatang Rp. 2250,-
Bibit Mangga ukuran 90 cm - 1 m perbatang Rp. 3000,-

 Jenis Bibit Jeruk Manis Batu
Ukuran 50 - 70 cm Perbatang Rp. 3000,-
Jenis Bibit Jeruk Keprok Batu 55
Ukuran 50 - 60 cm Perbatang Rp. 3500,-
Dan Jenis Bibit Jeruk Lain-lain.

Nb : Pembayaran Bisa Melalui Transfer Bank BCA
No Rek : 0890645208






Sabtu, 23 April 2011

Darmo Gandul Kitab Sesat dan Menyesatkan

Darmogandul Menolak Syari’at Islam

Generasi awal penolak syari’at Islam di Jawa telah dipelopori oleh Darmogandul dan Gatoloco.
Gatoloco menolak syari’at dengan qiyas/ analog yang dibuat-buat sebagai berikut:
“Santri berkata: Engkau makan babi. Asal doyan saja engkau makan, (engkau) tidak takut durhaka.
Gatoloco berkata: Itu betul, memang seperti yang engkau katakan, walaupun daging anjing, ketika dibawa kepadaku, aku selidiki. Itu daging anjing baik. Bukan anjing curian.

Anjing itu kupelihara dari semenjak kecil. Siapa yang dapat mengadukan aku? Daging anjing lebih halal dari daging kambing kecil. Walaupun daging kambing kalau kambing curian, adalah lebih haram. Walaupun daging anjing, babi atau rusa kalau dibeli adalah lebih suci dan lebih halal.

Itulah penolakan syari’ah dengan qiyas/ analogi yang sekenanya, yang bisa bermakna mengandung tuduhan. Untuk menolak hukum haramnya babi, lalu dibikin analog: Babi dan anjing yang dibeli lebih halal dan lebih suci dibanding kambing hasil mencuri.

Ungkapan Gatoloco yang menolak syari’at Islam berupa haramnya babi itu bukan sekadar menolak, tetapi disertai tuduhan, seakan hukum Islam atau orang Islam itu menghalalkan mencuri kambing. Sindiran seperti itu sebenarnya baru kena, apabila ditujukan kepada orang yang mengaku tokoh Islam namun mencuri kambing seperti Imam bahkan pendiri LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yakni Nur Hasan Ubaidah. Karena dia memang pernah mencuri kambing ketika di Makkah hingga diuber polisi, dan kambingnya disembunyikan di kolong tempat tidur. Tetapi zaman Gatoloco tentunya belum ada aliran Nur Hasan Ubaidah itu. Jadi Gatoloco itu (sebagaimana ditiru oleh penolak syari’ah Islam belakangan) telah melakukan dua hal:
1. Menolak syari’at Islam
2. Menuduh umat Islam sekenanya.

Penolakan syari’at Islam disertai tuduhan ada yang lebih drastis lagi, yaitu yang dilakukan oleh Darmogandul. Mari kita simak kecaman dan tuduhan Darmogandul terhadap Umat Islam berikut ini:
“Semua makanan dicela, umpamanya: masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing, panggang babi atau babi rusa, kodok dan tikus goreng.

Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar, bestik gembluk (babi hutan) semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih.

Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau makan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tak mau makan dagingnya.”
Ungkapan Darmogandul yang menuduh umat Islam sampai sedrastis itu, sebenarnya intinya sama juga.
1. Menolak syari’at Islam.
2. Menuduh secara semaunya terhadap umat Islam ataupun syari’atnya

Jadi sebenarnya polanya sama, antara penolak syari’at model lama dan model baru. Intinya ya dua perkara itu. Hanya saja kalau penolak syari’at Islam model baru, pakai putar-putar sana sini, lalu tuduhannya pun dicanggih-canggihkan. Diberondongkanlah ungkapan-ungkapan negatif terhadap umat Islam, bahkan syari’at Islam. Maka diluncurkanlah kepada umat Islam, kata-kata: inferiority complex, fikihisme, legalisme, pikiran apologetis sampai pada ungkapan fikih telah kehilangan relevansinya.

Sebenarnya Darmogandul dan Gatoloco pun telah mencari-cari perkataan yang secanggih-canggihnya untuk menuduh Umat Islam dan Syari’at Islam. Jadi ungkapan Inferiority complex yang dilontarkan orang sekarang, itu sebenarnya nilainya ya sama saja dengan ungkapan dendeng kucing, pindang kera, opor monyet yang dilontarkan orang masa lalu yaitu Darmogandul dan Gatoloco.

Masih ada satu ciri yang sama, yaitu mengembalikan istilah kepada pemaknaan secara bahasa, tetapi semaunya dan tidak sesuai dengan Islam.
Darmogandul mengatakan:
” … bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu merasa pahit dan masin.

Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir, ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur, Ra su lu lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dada ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”

Di situ lafal “Allah” oleh Darmogandul diartikan Ala yaitu jahat. Lalu lafal “Muhammad” diartikan “makam” atau kuburan. Dan lafal “Rasulullah” diartikan “rasa yang salah”. Lalu Darmogandul menuduh orang Islam sebagai orang gila, waktu pagi dan sore mereka adzan maka dibilang berteriak-teriak; sedang ketika Muslimin menjalankan shalat maka dia anggap bersedekap itu menekan dada, membaca bacaan shalat itu dia anggap bisik-nisik, sedang sujud dia anggap kepala ditaruh di tanah berkali-kali.

Demikianlah ungkapan Darmogandul. Sebenarnya banyak kata-kata dari ayat Al-Qur’an ataupun istilah Islam yang oleh Darmogandul diartikan dengan arti-arti jorok sekitar hubungan badan lelaki perempuan. Tetapi tidak usah kami kutip di sini.

Berikut ini model yang sama dari ungkapan Gatoloco:
“Baitullah, baitu artinya baito (perahu), jadi perahu buatan Allah, dalam perahu ada samodranya. Adapun Baitullah yang ada di Mekkah telah dibikin oleh Nabi Ibrahim.

Pikirlah, baik mana kiblat bikinan manusia atau kiblat bikinan Tuhan, yakni badanku ini. Kiblatmu di Mekkah hanya buatan Nabi.”

Gatoloco mengartikan lafal “Baitullah” (Ka’bah) dengan “baito” yaitu perahu. Tetapi susunan pemaknaan itu tidak kosnisten, sehingga Gatoloco beralih kilah, tidak jadi pakai penerjemahan lewat bahasa, tetapi pilih pakai klaim, bahwa kiblat di Makkah itu bikinan manusia, Nabi Ibrahim. Sedang kiblat Gatoloco adalah badannya yang dibikin oleh Tuhan. Lantas Gatoloco dalam menolak Syari’at Islam menyuruh orang Islam berpikir, lebih baik yang mana: kiblat bikinan manusia ataukah yang bikinan Tuhan.

Maksud Gatoloco, mengartikan Baitullah dengan Ka’bah di Makkah itu salah. Yang benar, Baitullah itu adalah baito Allah, (perahu bikinan Allah) yaitu badan manusia. Sehingga orang yang berkiblat ke Ka’bah di Makkah itu disalahkan oleh Gatoloco dengan cara mengalihkan arti secara bahasa. Dan penyalahan arti itu kemudian diplesetkan ke arah yang sangat jorok-jorok, tentang hubungan badan lelaki-perempuan, tapi tidak usah saya kutip di sini.

Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan hujjah/ argument untuk menolak syari’at Islam.

Coba kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam dikembalikan kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah agama (tidak punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari pemaknaan yang semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari’at Islam dalam kehidupan.

Sama bukan?

Kalau dicari bedanya, maka Darmogandul dan Gatoloco menolak syari’at Islam itu untuk mempertahankan Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari’at Islam itu untuk mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya. Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan Islam, sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara menolak Syari’at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya, tapi caranya sama.

Meskipun akar masalahnya sudah bisa dilacak, namun masih ada hal-hal yang perlu ditanggapi sebagaimana berikut ini.

Kutipan:
“…sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama.” (Artikel Nurcholish Madjid).

Tanggapan:
Kalau Gatoloco menolak syari’at dengan cara mengkambing hitamkan kambing curian, maka sekarang generasi Islam Liberal menolak syari’ah dengan meganggap fiqh sudah kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama saja dengan Gatoloco dan Darmogandul itu tadi.

Tuduhan bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran yang sejati.
Dalam kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai hukum Islam (sebut saja hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam itu tercakup dalam fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian waris, mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh sudah kehilangan relevansinya? Hatta di zaman modern sekarang ini pun, manusia yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu perinciannya ada di dalam ilmu fiqh.

Seorang ahli tafsir, Muhammad Ali As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum, Rowaai’ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung dari Al-Qur’an saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada kitab-kitab fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup hanya dari tafsir ayat ahkam itu.

Kalau mau mengingkari Islam yang jangkauannya mengurusi dunia termasuk negara, mestinya cukup merujuk kepada Barat sekuler yang terkena kedhaliman pihak gereja. Tidak usah merujuk kepada kondisi Islam yang akibatnya hanya akan menuduh umat Islam, fiqh Islam, syari’at Islam dan bahkan Islam itu sendiri. Hingga terseretlah oleh hawa nafsu tanpa dilandasi paradigma ilmu: Islam disempitkan jadi al-din yang dia maknakan sebagai agama belaka alias ritual/ ubudiah belaka. Ini namanya menabrak-nabrak, hanya untuk menguat-nguatkan pendapatnya. Akibatnya justru menuduh sana-sini (unsur-unsur dalam Islam) tanpa dalil yang pasti.

Dalam hal ini, Nurcholish Madjid di samping pemikirannya sederhana, masih pula mengingkari realitas dan sejarah. Hingga Nurcholish menganggap, “sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang.”

Sangat disayangkan, realitas yang belum hilang sama sekali dalam kenyataan, telah diingkari oleh Nurcholish Madjid. Teman sejawat Nurcholish Madjid dalam hal keliberalan, atau istilahnya waktu itu “Islam kontekstual”, yaitu Pak Munawir Sjadzali –yang pernah dijuluki sebagai trio pembaruan (Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Munawir Sjadzali) di tahun 1985-1990-an–, Pak Munawir telah berpayah-payah membuat kompilasi hukum Islam dari kitab-kitab fiqh Islam sekitar (26 kitab) dengan mengumpulkan para rektor, dosen, dan para ulama se-Indonesia untuk membuat kompilasi hukum Islam selama 2 tahun-an, dengan mengadakan studi banding ke berbagai tempat. Ternyata kini upaya Menteri Agama Munawir Sjadzali MA itu diingkari mentah-mentah oleh Nurcholish Madjid. Memang kompilasi hukum Islam itu hanya mengenai hukum keluarga (ahwalus syahsyiyah) yaitu hukum waris, hibah, sedekah, nikah , talak, dan rujuk. Namun pelaksanaan dalam pengadilan agama yang telah disahkan lewat undang-undang peradilan agama, tetap merujuk kepada hukum fiqh Islam.

Kenyataan yang masih ada di depan mata pun diingkari oleh Nurcholish Madjid. Dan setelah mengadakan pengingkaran, lalu dia nyatakan:
Kutipan:
“Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama.”

Tanggapan:
Ungkapan Nurcholish Madjid itu tidak usah manusia yang menjawab, tetapi kita serahkan kepada Allah SWT yang telah berfirman:

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maaidah/ 5: 50).

Agaknya pantas kita mengingat pepatah:
- Anak di pangkuan dilepaskan
- Beruk di hutan disusukan

Hukum Islam yang jelas dari Allah SWT, mau dia buang, sedang hukum rimba yang belum ketahuan juntrungannya mau diterapkan. Ini secara akal sudah menyalahi akal sehat. Sedang secara keyakinan sudah mengingkari hukum Allah SWT. Sehingga keyakinannya terhadap Islam pun dipertanyakan.

Barang yang masih ada di depan mata pun diingkari. Ayat yang masih tertulis di seluruh dunia pun diingkari. Dua hal ini saja sudah menjadikan lemahnya bobot pemikiran itu. Maka pantas, dulu Pak Rasyidi menyebutnya, pemikirannya itu berbahaya karena sederhana. Satu ungkapan yang perlu diresapi dengan arif.

Itu belum tentang masalah orang Hindu, Budha, Sinto oleh Nurcholish Madjid dimasukkan sebagai Ahli Kitab sebagaimana Yahudi dan Nasrani. Belum lagi tentang musyrikat (wanita musyrik, menyekutukan Tuhan) hanya dia anggap musyrikat Arab saja, bukan yang lainnya. Jadi arahnya ke mana?

Kamis, 13 Januari 2011

Profile Pon - Pes DMU


PROFILE PONDOK PESANTREN


1.      NAMA PONDOK PESNTREN   :     DAARU MAFTIHIL ULUM

2.      NSM                                                :    

3.      ALAMAT                                        :     DUSUN              :     TAMBAK KIDUL               DESA        :     TAMBAKREJO
                                                                        KECAMATAN   :     PASREPAN
                                                                        KABUPATEN    :     PASURUAN
                                                                        PROVINSI         :     JAWA TIMUR
                                                                        TELEPON         :     081555936617 / 081913444667

4.      NAMA YAYASAN                         :     ROUDLOTUL MTHOHHAROH

5.      NAMA KEPALA                            :     ACH. FAISOL

6.      ALAMAT RUMAH                        :     DUSUN              :     TAMBAK KIDUL                     DESA :  TAMBAKREJO
                                                                        KECAMATAN   :     PASREPAN
                                                                        KABUPATEN    :     PASURUAN
                                                                        PROVINSI         :     JAWA TIMUR
                                                                        TELEPON         :     081913444667


 

7.      STATUS AKREDITASI               :        B                          MASA AKREDITASI (TAHUN)         :     --

8.      JUMLAH SISWA / KELAS          :     L : 55  P : 50
                                                                       
9.      TENAGA PENDIDIK                    :     A.      KUALIFIKASI
SD/MI
SLTP/MTs
SLTA/MA
D2
D1
S1
LAINNYA
JUMLAH
-
3
5
-
-
1
-
6
                                                                       
                                                                        B.      KEPEGAWAIAN
PNS
BGK
GTY
GTT
-
-
6
-
10.    VISI DAN MISI
VISI                                                 :     Terciptanya Penyelenggaraan Pendidikan yang mampu mencetak lulusan yang unggul dan berkwalitas dalam segala bidang baik IPTEK maupun IMTAQnya

MISI                                                 :     1.      Menciptakan kelembagaan yang bermutu dan professional
2.          Menciptakan pendidikan yang disiplin dan berakhlaqul karimah
3.          Mengadakan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada nilai-nilai ajaran islam
4.          Membentuk hati nurani, nilai moral dan sosial
5.          Mengembangkan minat dan bakat peserta didik untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan melalui pengamalan ajaran islam





                                                                                                                                                          Pasuruan, 2 Januari 2011
                            Mengetahui,                                                                                                       Kepala Pon-Pes
                            Ketua Yayasan                                                                                                  Tambak Kidul – Pasrepan

                           

                            K. A. TOHARI ABD. DJALAL                                                                                    ACH. FAISOL







RENCANA ANGGARAN KEBUTUHAN
PONDOK PESANTREN DAARU MAFATIHIL ULUM
TAMBAKREJO KIDUL PASREPAN – PASURUAN

NO.
URAIAN
VOLUME
HARGA SATUAN Rp.
JUMLAH Rp.

Mesin foto kopi
1 unit
30.000.000
30.000.000

Komputer AMD
2 unit
6.500.000
13.000.000

Printer Epson R230
2 unit
1.750.000
3.500.000

Scanner
1 unit
750.000
750.000

Kamera digital
1 unit
1.500.000
1.500.000

Kambing
5 ekor
1.000.000
5.000.000

Sarana air bersih


25.000.000

Jumlah


78.750.000

 Pasuruan, 2 Januari 2011

                            Mengetahui,                                                                                                       Kepala Pon-Pes
                            Ketua Yayasan                                                                                                  Tambak Kidul – Pasrepan

                           

                            K. A. TOHARI ABD. DJALAL                                                                                    ACH. FAISOL

Minggu, 09 Januari 2011

Biografi Para Imam Besar Islam


I
ABU HANIFAH

            “Saya tidak pernah melihat seorang yang lebih berakal, lebih mulia dan lebih wara' dari Abu Hanifah.” (Yazid bin Harun)
SEKILAS TENTANG KEHIDUPANNYA
            Abu Hanifah memiliki wajah bagus dan rupa nan elok serta ucapan yang fasih dan manis. Ia tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek, selalu memakai pakaian yang bagus dan enak dipandang, demikian juga suka memakai minyak wangi, orang akan mengetahui Abu Hanifah dari bau harum minyak wanginya sebelum ia terlihat. Itulah an-Nu'man bin Tsabit bin al-Marzuban yang dikenal dengan nama Abu Hanifah, orang yang pertama kali menyingkap keutamaan dan keistimewaan yang ada dalam ilmu fiqih.
            Abu Hanifah mendapati masa akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan awal masa pemerintahan Bani Abbas. Ia hidup di sebuah masa yang mana para penguasa sering menghadiahkan harta kepada orang-orang yang berjasa kepada negara, mereka sering mendapatkan harta yang sangat banyak tanpa mereka sadari.
            Akan tetapi Abu Hanifah memuliakan  ilmu dan dirinya dari hal demikian, ia bertekad untuk hidup dari hasil jerih payahnya sendiri, sebagaimana ia juga bertekad agar tangannya selalu di atas (selalu memberi).
           
            Pada suatu waktu al-Manshur memanggil Abu Hanifah ke rumahnya, maka tatkala ia sampai, al-Manshur memberi salam penghormatan dan sambutan yang sangat hangat serta memuliakannya, kemudian duduk di dekat Abu
Hanifah dan mulai bertanya tentang permasalahan-permasalahan duniawi dan ukhrowi.
            Di saat Abu Hanifah hendak pamit, al-Manshur memberinya sebuah kantung yang berisi tiga puluh ribu dirham –meskipun diketahui bahwa al Manshur termasuk orang yang pelit- maka Abu Hanifah berkata kepadanya, “Wahai Amirul mu'minin, sesungguhnya aku adalah orang asing di Baghdad, aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan uang sebanyak ini dan aku takut kalau nanti ia akan hilang, maka dari itu jika boleh aku minta tolong agar ia disimpankan di Baitul Mal sehingga jika aku membutuhkan aku akan mengambilnya.”
            Kemudian al Manshur mengabulkan permintaannya. Akan tetapi setelah kejadian itu, Abu Hanifah tidak hidup lama. Ketika ajal menjemput, ditemukan di rumahnya harta titipan orang banyak yang jumlahnya melebihi tiga puluh ribu dirham, maka tatkala al Manshur mendengar akan hal itu ia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, dia telah memperdayaiku. Ia telah menolak sesuatu pun dari pemberian kami.” Yang demikian itu tidaklah aneh, karena Abu Hanifah meyakini bahwasanya tidaklah seseorang makan satu suap lebih suci dan lebih mulia dari hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu, kita mendapati bahwa sebagian hidupnya adalah untuk berniaga. Ia berdagang al-Khiz (tenunan dari sutera dan bulu) dan bermacam pakaian yang terbuat darinya. Ia berdagang pulang pergi dari kota ke kota yang berada di Iraq. Ia memiliki sebuah toko terkenal yang didatangi oleh banyak pengunjung karena mereka mendapati Abu Hanifah sebagai orang yang jujur dan amanah, di samping, mereka juga mendapatkan barang yang bagus di tokonya.
            Dari perdagangannya tersebut Abu Hanifah diberi anugerah oleh Allah berupa kekayaan yang melimpah. Jika
sampai masa satu tahun dari perdagangannya ia menghitung seluruh laba dan kemudian mengambil dari laba tersebut apa yang mencukupinya, setelah itu sisanya ia belikan barang-barang kebutuhan bagi para Qari, ahli hadits, ulama fiqih dan para penuntut ilmu dan juga membelikan makanan dan pakaian bagi mereka. Kemudian setiap dari mereka diberi sejumlah uang seraya berkata, “Ini adalah laba dari barang dagangan kalian yang diberi oleh Allah melalui tanganku, Demi Allah aku tidaklah memberi kalian sedikitpun dari hartaku, akan tetapi ia adalah karunia dari Allah bagi kalian melalui tanganku. Tidaklah seseorang memiliki daya untuk mendapatkan rizki kecuali dari Allah.”
            Kabar tentang kedermawanan Abu Hanifah telah tersebar di timur dan barat, khususnya di kalangan para sahabat dan teman dekatnya. Sebagai suatu contoh, pada suatu hari seorang temannya pergi ke tokonya dan berkata,
“Sesungguhnya aku membutuhkan pakaian dari bahan al-Khizz, wahai Abu Hanifah.”
Abu Hanifah bertanya,”Apa warnanya?” Orang itu menjawab, “Begini dan begini.” “Sabar dan tunggulah sampai aku mendapatkan pakaian tersebut,” kata Abu Hanifah.
Seminggu kemudian pakaian yang dipesan telah jadi, maka tatkala temannya itu melewati toko, Abu Hanifah
memanggilnya dan berkata,
            “Aku punya pakaian yang kamu pesan.”
            Temannya merasa gembira dan bertanya kepada Abu            Hanifah,
            “Berapa aku harus membayar pegawaimu?”
            “Satu dirham,” jawab Abu Hanifah.
            Ia merasa heran dan bertanya lagi, “Cuma satu          dirham?”
            “Ya,” kata Abu Hanifah
            Temannya berkata, “Wahai Abu Hanifah, engkau tidak sedang bergurau bukan?”
            Abu Hanifah manjawab, “Aku tidaklah bergurau, karena aku telah membeli pakaian ini dan yang satunya lagi dengan harga dua puluh dinar emas plus satu dirham perak, kemudian aku menjual salah satunya dengan dua puluh dinar emas sehingga tersisa satu dirham. Dan aku tidak akan mengambil untung dari teman dekatku sendiri.”
            Pada waktu yang lain ada seorang perempuan tua datang ke tokonya dan memesan sebuah baju dari bahan al-Khizz, tatkala Abu Hanifah memberikan baju pesanannya, perempuan tua tadi berkata, “Sungguh aku adalah seorang perempuan yang sudah tua dan aku tidak tahu harga barang sedangkan baju pesananku adalah amanah seseorang. Maka juallah baju itu dengan harga belinya kemudian tambahkan sedikit laba atasnya, karena sesungguhnya aku orang miskin.”
            Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya aku telah membeli dua jenis pakaian dengan satu akad (transaksi), kemudian aku jual salah satunya kurang empat dirham dari harga modal, maka ambillah pakaian itu dengan harga empat dirham itu dan aku tidak akan meminta laba darimu.”
            Pada suatu hari, Abu Hanifah melihat baju yang sudah usang sedang dipakai oleh salah seorang teman dekatnya. Ketika orang-orang-orang telah pergi dan tidak ada seorangpun di tempat itu kecuali mereka berdua, Abu Hanifah berkata kepadanya, “Angkat sajadah ini dan ambillah apa yang ada di bawahnya.” Maka temannya mengangkat sajadah tersebut, tiba-tiba ia menemukan di bawahnya seribu dirham. Kemudian Abu Hanifah berkata, “Ambil dan perbaikilah kondisi dan penampilanmu.” Akan tetapi temannya kemudian berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang mampu
(berkecukupan) dan sungguh Allah telah memberiku nikmat-Nya sehingga aku tidak membutuhkan uang tersebut.”
            Berkata Abu Hanifah, “Jika Allah telah memberimu nikmat, maka di mana bekas dan tanda nikmata-Nya itu? Tidakkah sampai kepadamu bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” Karena itu, seyogyanya kamu memperbaiki penampilanmu agar temanmu ini tidak sedih melihatnya.”
            Kedermawanan Abu Hanifah dan kebaikannya kepada orang lain telah sampai pada taraf di mana bila ia memberikan nafkah kepada keluarganya, maka ia pun mengeluarkan jumlah yang sama untuk orang lain yang menghajatkannya. Dan jika ia memakai baju baru maka ia akan membelikan orang-orang miskin baju yang seharga dengan baju barunya. Jika dihidangkan makanan di hadapannya, maka ia akan mengambil dua kali lipat dari apa yang biasa ia makan kemudian ia berikan kepada orang fakir.
            Di antara hal yang diriwayatkan darinya adalah janjinya yang tidak akan bersumpah atas nama Allah di sela-sela perkataannya kecuali ia akan bersedekah dengan satu dirham perak. Kemudian lama-kelamaan janji pada dirinya itu ditingkatkan menjadi satu dinar emas. Sehingga setiap ia bersumpah atas nama Allah maka ia akan bersedekah sebanyak satu dinar.
            Hafsh bin Abdur Rahman merupakan relasi dagang Abu Hanifah dalam sebagian perniagaannya. Ia menyiapkan barang-barang dagangan berupa al-Khizz dan mengirimnya bersamanya (Hafsh) ke sebgian kota yang ada di Iraq. Pada suatu waktu beliau menyiapkan untuk dibawa Hafsh barang dagangan yang banyak dan memberi tahu kepadanya bahwa di antara barang-barang tersebut ada yang cacat, ia berkata, “Apabila kamu mau menjualnya maka terangkanlah kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang tersebut.”

            Maka kemudian Hafsh menjual semua barang yang dititipkan dan ia lupa untuk memberi tahu sebagian barang yang ada cacatnya kepada para pembeli. Ia telah berupaya mngingat-ingat orang-orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, tetapi tidak berhasil. Maka tatkala Abu Hanifah tahu akan hal itu dan tidak mungkinnya mengenali orang-orang yang telah membeli barang yang cacat itu, hatinya tidak tenang sampai ia bersedekah dengan harga semua barang yang diperdagangkan oleh Hafsh.
            Di samping semua sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga seorang yang baik dalam bergaul dengan orang lain, teman dekatnya akan merasa bahagia bila bersamanya dan orang yang jauh darinya tidak akan merasa tersakiti bahkan musuhnya sekalipun. Salah seorang sahabatnya pernah berkata, aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai Abu Abdillah, betapa jauhnya Abu Hanifah dari sifat menggunjing, aku sama sekali tidak pernah mendengar ia berkata tentang kejelekan musuhnya.” Maka Abu Sufyan berkata, “Sesungguhnya Abu Hanifah sangat waras sekali sehingga tidak mungkin melakukan hal yang dapat menghapus kebaikan-kebaikannya.”
            Abu Hanifah adalah orang yang pandai mengambil hati manusia dan berusaha keras untuk melanggengkan persahabatan dengan mereka. Seperti diketahui bahwasanya jika saja ada orang asing yang duduk di majlisnya tanpa ada maksud dan keperluan, maka jika orang
itu hendak pergi ia bertanya kepadanya, apabila orang itu mempunyai kebutuhan maka ia akan membantunya dan apabila sakit ia akan menjenguknya sampai orang itu menjadi teman yang dekat dengannya.
            Di samping yang telah disebutkan itu semau, ia juga adalah seorang yang banyak berpuasa dan bangun malam (untuk shalat), berteman dengan al-Qur'an serta beristighfar meminta ampunan Allah pada penghujung malam.
            Dan di antara sebab ketekunannya dalam beribadah dan semangatnya adalah karena pada suatu waktu ia bertemu dengan sekelompok orang, lalu ia mendengar mereka berkata, “Sesungguhnya orang yang kamu lihat ini tidak pernah tidur malam.” Maka, begitu telinganya menangkap apa yang mereka katakan itu, berkatalah ia di dalam hati, “Sesungguhnya diriku di sisi manusia berbeda dengan apa yang aku lakukan di sisi Allah. Demi Allah, sejak saat ini tidak boleh ada lagi orang yang berkata tentangku apa yang tidak aku lakukan. Aku tidak akan tidur di malam hari hingga aku menjumpai Allah (wafat).”
            Kemudian mulai hari itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan beribadah kepada Allah. Di saat malam telah menjelang dan punggung telah menuju ke peraduan (tenggelam dalam tidur), ia bangun malam lalu memakai pakaian yang paling bagus, merapikan jenggot, memakai minyak wangi dan berhias, kemudian menuju mihrabnya dan mulai menghidupkan malam dengan khusyu' beribadah kepada Allah, larut dalam membaca al-Qur'an atau berdoa menengadahkan tangannya kepada Allah dengan penuh ketundukan.
            Bisa jadi, ia membaca al-Qur'an 30 juz dalam satu rakaat atau mungkin saja ia menghidupkan seluruh malamnya dengan satu ayat saja.
            Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwasanya pada suatu malam, ia menghidupkan seluruh malam dengan mengulang-ulang firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya, “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (al-Qamar:46) Sembari menangis tersedu-sedu, sebuah tangisan yang mengiris hati.
Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang melakukan shalat Shubuh dengan wudhu shalat 'Isya selama empat puluh tahun, tidak pernah sekal pun ia meninggalkan kebiasaan itu. Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang menghatamkan al-Qur'an di satu tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali.
            Jika membaca surat az-Zalzalah, tubuhnya gemetar dan hatinya dirundung rasa ketakutan dan serta-merta ia memegang jenggotnya seraya mulai melantunkan,

Wahai Dzat Yang membalas kebaikan dengan
kebaikan walaupun hanya seberat dzarrah
Wahai Dzat Yang membalas kejelekan dengan kejelekan
walaupun seberat dzarrah
Berilah perlindungan kepada hamba-Mu yang bernama an-
Nu'man dari api neraka
Jauhkanlah antara dirinya dengan sesuatu yang dapat
mendekatkannya dari neraka
Dan masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari sang pengasih







SIKAP BELA AGAMA DAN ARGUMENTASINYA
YANG KUAT

            Pada suatu hari Abu Hanifah mendatangi majlis Imam Malik yang sedang berkumpul dengan para sahabatnya, maka tatkala ia keluar (karena pengajian sudah bubar), berkatalah Imam Malik kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, “Apakah kalian tahu siapa orang itu.?” Mereka menjawab, “Tidak.” Kemudian sang Imam berkata, “Ia adalah an-Nu'man bin Tsabit, seorang yang apabila mengatakan bahwasanya tiang masjid ini adalah emas maka perkataannya itu tentulah menjadi hujjah dan sungguh benar-benar tiang itu akan keluar seperti yang dikatakannya itu.”
            Tidaklah Imam Malik berlebihan dalam mensifati Abu Hanifah dengan hal demikian karena memang ia memiliki hujjah yang kuat, kecepatan dalam megambil keputusan yang tepat dan ketajaman dalam berfikir.
            Kitab-kitab sejarah telah menceritakan bagaimana pendirian dan sikapnya terhadap para penentang dan musuh-musuhnya dalam hal ra'yu dan aqidah, yang kesemuanya itu menjadi saksi akan kebenaran apa yang dikatakan oleh Imam Malik tentang Abu Hanifah, yang mana jika seandainya ia mengatakan bahwasanya pasir yang ada di depanmu adalah emas maka tidak ada alasan bagi kamu kecuali percaya dan menerima terhadap apa yang ia katakan. Maka bagaimana halnya jika ia mendebat tentang kebenaran.?
            Sebagai satu contoh apa yang terjadi dengan salah seorang dari Kufah yang disesatkan Allah ia adalah seorang yang terpandang di mata sebagian orang dan kata-katanya didengar oleh mereka. Ia mengatakan kepada orang-orang bahwasanya Utsman bin Affan pada asalnya adalah seorang yahudi dan ia tetap menjadi yahudi setelah datangnya agama
Islam. Maka demi mendengar perkataannya tersebut Abu Hanifah menghampirinya dan berkata, “Saya datang kepadamu hendak melamar anak perempuanmu untuk salah seorang sahabatku.”
            Ia menjawab, “silahkan wahai Imam, sesungguhnya orang seperti dirimu tidak akan ditolak apabila meminta sesuatu, tetapi kalau boleh tahu siapakah orang yang mau menikahi anak perempuanku itu.?”
            Abu Hanifah menjawab, “seseorang yang dikenal oleh kaumnya dengan kemuliaan dan kekayaan, dermawan dan ringan tangan serta suka membantu orang lain, hafal kitab Allah Azza wa Jalla, selalu menghidupkan seluruh malamnya untuk beribadah dan banyak menangis karena takutnya kepada Allah.”
            Maka orang itu berkata, “cukuplah wahai Abu Hanifah, sesungguhnya sebagian dari sifat yang engkau sebutkan tadi telah menjadikan orang itu pantas untuk menikahi anak perempuan Amirul Mu'minin.”
            Kemudian Abu Hanifah berkata lagi, “akan tetapi ia memiliki satu sifat yang harus engkau pertimbangkan.”
Ia bertanya, “apakah sifat tersebut.”
Sang Imam menjawab, “sesungguhnya ia adalah seorang
yahudi.” Maka setelah mendengar jawaban tersebut ia terguncang kaget seraya berkata, “ia seorang yahudi? apakah engkau akan memintaku untuk menikahkan anak perempuanku dengan seorang yahudi wahai Abu Hanifah?! Demi Allah aku tidak akan melakukannya sekalipun ia memiliki semua sifat baik dari kaum terdahulu hingga yang terakhir.”
            Maka Abu Hanifah pun berkata, “engkau menolak untuk menikahkan anak perempuanmu dengan seorang yahudi dan engkau sangat mengingkarinya, kemudian engkau mengatakan kepada orang banyak bahwasanya Rasulullah SAW telah menikahkan kedua putri beliau dengan seorang yahudi !!”
            Maka demi mendengar apa yang dikatakan Abu Hanifah tubuhnya bergetar kemudian berkata, “aku memohon ampun kepada Allah dari perkataan jelek yang telah aku katakan, dan aku bertaubat kepada-Nya dari kedustaan yang pernah aku lakukan.”
            Contoh yang lain adalah apa yang terjadi pada salah seorang Khawarij* yang bernama adh-Dhahhak asy-Syary. Pada suatu hari ia mendatangi Abu Hanifah dan berkata, “Bertaubatlah engkau wahai Abu Hanifah.”
Sang Imam menjawab, “Dari hal apakah aku bertaubat?”
            Orang itu menjawab, “Dari perkataanmu tentang dibolehkannya menentukan satu hakim untuk memutuskan apa yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah.”
            Abu Hanifah berkata, “Apakah engkau mau berdebat denganku tentang masalah ini?” ia menjawab, “Ya”
            Kemudian Abu Hanifah berkata, “Jika kita berselisih tentang apa yang kita perdebatkan, siapakah yang akan menjadi hakim antara kita”
Orang itu menjawab, “Pilihlah yang engkau mau.”
            Maka sang Imam memandang salah seorang temannya dan berkata, “Wahai fulan, jadilah engkau penengah di antara kami tentang apa yang kami perselisihkan” Selanjutnya ia berkata kepada Sang khawarij, “Aku ridlo temanmu menjadi penengah antara kita, apakah kamu juga demikian?”
Maka dengan senang hati ia menjawab, “Tentu”
            Namun kemudian Abu Hanifah berkata, “Celakalah kamu, bagaimana kamu membolehkan adanya penengah di antara kita tentang apa yang kita perselisihkan, sedangkan kamu mengingkari adanya di antara dua sahabat Rasulullah SAW?!
Maka orang terebut diam seribu bahasa dan tidak dapat menjawabnya.
            Kemudian di antara contoh lainnya adalah kisah perdebatan beliau dengan Jahm bin Shafwan seorang pemimpin aliran Jahmiyah yang sesat dan seorang yang menanam kejelekan di bumi Islam. Pada suatu saat ia mendatangi Abu Hanifah dan berkata, “Aku ingin berbincang-bincang denganmu tentang beberapa perkara yang telah aku siapkan.” Akan tetapi Abu Hanifah menjawab, “berbincang-bincang denganmu adalah merupakan aib, dan membicarakan tentang apa yang kamu yakini adalah seperti api yang menyala.”
            Maka Jahm berkata, “bagaimana engkau menghukumiku demikian, sedangkan engkau belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum pernah mendengar perkataanku?”
Kemudian Abu Hanifah menjawab, “sesungguhnya hal yang demikian telah tersebar dan terkenal di kalangan orang awam maupun para ulama, sehingga boleh bagiku untuk berkata demikian karena berita tentangmu telah mutawatir.”
            Setelah itu Jahm berkata lagi, “aku tidak akan bertanya kepadamu kecuali tentang iman.”
Abu Hanifah menyela, “apakah sampai saat ini kamu belum tahu tentang iman sehingga kamu bertanya kepadaku
tentangnya?”
            Jahm menjawab, “aku tahu, akan tetapi aku merasa ragu pada salah satu macamnya.”
Abu Hanifah berkata, “ragu dalam hal keimanan adalah kufur.” Kemudian Jahm berkata, “kamu tidak boleh mensifatiku dengan kekufuran sebelum kamu mendengar apa yang membuatku kafir,”
Maka Abu Hanifah berkata, “katakan apa yang ingin kamu tanyakan!”
            Jahm berkata, “kabarkanlah kepadaku tentang seorang yang meyakini akan keberadaan Allah dengan hatinya, dan ia yakin bahwasanya Allah adalah Esa dan tiada sekutu baginya. Ia juga tahu tentang sifat-sifat Allah dan yakin bahwasanya tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Kemudian ia mati akan tetapi tidak menyatakan keimanannya itu dengan lisannya. Apakah ia mati dalan keadaan mukmin atau kafir.?”
            Abu Hanifah menjawab, “ia mati dalam keadaan kafir dan termasuk ahli neraka jika ia tidak menyatakan dengan lisannya tentang apa yang diyakini hatinya, kecuali jika ada sesuatu sebab yang menghalanginya untuk menyatakan keimanan dengan lisannya.”
            Kemudian Jahm membantah dengan berkata, “bagaimana ia tidak menjadi mukmin sedangkan ia telah benar-benar meyakini adanya Allah.?”
            Maka kemudian Abu Hanifah berkata, “jika kamu beriman kepada al-Qur'an dan kamu menjadikannya sebagai hujjah maka aku akan menjawab pertanyaanmu dengannya, tapi jika kamu tidak mengimani al-Qur'an dan kamu tidak memandangnya sebagai hujjah, maka aku akan menjawab pertanyaanmu dengan sesuatu yang biasa kami katakan kepada orang yang menyelisihi Islam.”
            Akan tetapi kemudian Jahm menjawab, “justru aku mengimani al-Qur'an dan menjadikannya sebagai hujjah.”
            Maka Abu Hanifah menjawab, “sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala telah menjadikan keimanan itu dengan dua anggota badan yaitu hati dan lisan, tidak dengan salah satunya, dan yang demikian itu telah di sebutkan dalam Kitab Allah al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW, diantaranya adalah:
Firman Allah Ta'ala, “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi atas (kebenaran al-Qur'an dan kenabian Muhammad s.a.w) Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?” Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).”( al-Maidah: 83-85)
            Disebutkan dalam ayat di atas bahwasanya mereka meyakini kebenaran dengan hati dan menyatakannya dengan lisan, maka karena apa yang mereka ucapkan Allah memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.
            Dia juga berfirman, “Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepda Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan-Nya.”( Al-Baqarah: 136)
            Mereka diperintah untuk melafadzkan keimanan mereka dan tidak cukup hanya dengan hati.
            Di dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Katakanlah, Laa ilaaha illallaah, maka kalian akan selamat.” beliau tidak menjadikan keselamatan hanya dengan keyakinan hati, akan tetapi harus disertai dengan dengan ucapan.
            Di dalam hadits yang lain beliau SAW bersabda, “akan keluar dari neraka orang yang mengatakan Laa ilaaha illallaah.” Beliau tidak mengatakan, akan keluar dari neraka orang yang tahu adanya Allah. Dan jikalau perkataan itu tidak dibutuhkan, akan tetapi cukup keimanan itu hanya dengan hati, maka iblis itu termasuk orang yang beriman. Karena iblis tahu bahwasanya Allah itu ada, ia tahu bahwasanya Allah lah yang telah menciptakannya dan Allah pula yang akan mematikannya. Ia juga yakin bahwasanya Allah yang akan membangkitkannya dan Allah pula yang menyesatkannya.
Disebutkan dalam al-Qur'an bahwasanya iblis berkata, “Engkau menciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” Al-A'raaf: 12
“Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.” (Al-Hijr: 36)
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.”(al-A'raaf: 16)
            Dan jika apa yang engkau yakini adalah benar wahai Jahm, maka sebagian banyak orang kafir menjadi beriman karena mereka mengakui adanya Allah dengan hatinya walaupun mereka mengingkari dengan lisan mereka.
Allah berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya.” (An-Naml:14)
Keyakinan yang ada di hati mereka tidak dapat menjadikan mereka beriman, akan tetapi mereka tetap orang kafir karena pengingkaran lisan mereka.
            Demikianlah Abu Hanifah menjelaskan tentang permasalahan iman dengan sangat gamblangnya, kadang dengan al-Qur'an dan terkadang dengan hadits, sehingga tampak pada wajah Jahm rasa minder dan kalah sampai kemudian ia berpamitan kepada Abu Hanifah seraya berkata, “engkau telah mengingatkanku akan sesuatu yang terlupa, aku pamit sebentar.” Akan tetapi ia pergi tanpa kembali lagi.
            Di antara contoh yang lain, diceritakan bahwasanya pada suatu saat Abu Hanifah menemui sekelompok orang yang mengingkari adanya Sang Pencipta (Atheis), maka ia berkata kepada mereka, “Apa yang kalian katakan jika ada sebuah kapal yang penuh dengan muatan barang, di tengah lautan ia dikelilingi oleh ombak besar yang saling bertabrakan dan diterjang oleh angin yang sangat kencang, akan tetapi kapal tersebut dapat berlayar dengan sangat tenang menuju tempat tujuan tanpa adanya goncangan sedikitpun, sedangkan di atas kapal tersebut tidak ada seorang nahkodapun didalamnya. Apakah hal tersebut masuk akal?”
Mereka menjawab, “Tidak, sesungguhnya kejadian tersebut sama sekali tidak dapat diterima oleh akal”
            Kemudian ia berkata, “Begitukah? Subhaanallah!! Kalian mengingkari adanya sebuah kapal yang dapat berjalan dengan tenang tanpa nahkoda, sedangkan kalian meyakini bahwasanya alam semesta yang penuh dengan lautan luas, gugusan bintang yang selalu beredar, burung-burung yang selalu bertashbih dan berbagai macam binatang ada (tercipta) dengan sendirinya tanpa ada Sang Pencipta yang menciptakan dan mengatur semua itu? Celakalah kalian.!”
            Demikianlah perjalanan hidup beliau yang selalu membela agama Allah dengan apa yang telah dianugerahkan oleh-Nya yang berupa kekuatan berhujjah dan kefasihan dalam berbicara.
            Kemudian tatkala maut menjemput, telah ditemukan bahwasanya di antara wasiat beliau adalah agar jasadnya dikuburkan di tanah yang bersih (tidak ada syubhat rampasan atau lainnya) dan agar dijauhkan dari setiap tempat yang dikhawatirkan diambil dengan ghosob (diambil tanpa seizin pemiliknya).
            Maka tatkala wasiat tersebut sampai ke telinga al-Manshur ia berkata, “siapakah yang berani mencela dia di depanku.?”
            Abu Hanifah juga telah berwasiat agar jasadnya dimandikan oleh al-Hasan bin 'Ammaroh, maka tatkala memandikannya ia berkata, “Semoga Allah merahmatimu wahai Abu Hanifah, dan semoga Dia menghapus dosa-dosamu sebagai balasan dari apa yang pernah engkau lakukan. Sesungguhnya engkau tidak pernah berbuka sejak tiga puluh tahun, dan tidak pernah tidur sejak empat puluh tahun. Dan sungguh engkau telah membikin susah ulama setelahmu (karena harus mencontoh dan meniru perilakumu).”

CATATAN:

* Al-Khawarij: orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Ali dan Mu'awiyah RA









II
IBNU KATSIR
NAMA LENGKAP

            Nama lengkap beliau adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashra di negeri Syam. Pada usia 4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H, beliau pindah dan menetap di kota Damaskus.

RIWAYAT PENDIDIKAN

            Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya.
Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para ulama di sana.

PRESTASI KEILMUAN

            Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
            Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.

KARYA IBNU KATSIR

            Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih banyak lagi.

KESAKSIAN PARA ULAMA

            Kealiman dan keshalihan sosok Ibnu Katsir telah diakui para ulama di zamannya mau pun ulama sesudahnya. Adz-Dzahabi berkata bahwa Ibnu Katsir adalah seorang Mufti (pemberi fatwa), Muhaddits (ahli hadits), ilmuan, ahli fiqih, ahli tafsir dan beliau mempunyai karangan yang banyak dan bermanfa’at.
            Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah seorang yang disibukkan dengan hadits, menelaah matan-matan dan rijal-rijal (perawinya), ingatannya sangat kuat, pandai membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab, dan setelah wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at yang sangat banyak dari karya-karyanya.
            Salah seorang muridnya, Syihabuddin bin Hajji berkata, “Beliau adalah seorang yang plaing kuat hafalannya yang pernah aku temui tentang matan (isi) hadits, dan paling mengetahui cacat hadits serta keadaan para perawinya. Para sahahabat dan gurunya pun mengakui hal itu. Ketika bergaul dengannya, aku selalu mendapat manfaat (kebaikan) darinya.

AKHIR HAYAT

            Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski kini beliau telah lama tiada, tapi peninggalannya akan tetap berada di tengah umat, menjadi rujukan terpercaya dalam memahami Al Qur’an serta Islam secara umum. Umat masih akan terus mengambil manfaat dari karya-karyanya yang sangat berharga.








III
IMAM IBNUL QOYYIM AL-JAUZIYYAH RAHIMAHULLAH TA'ALA

            Beliau adalah Syamsuddin Abu 'Abdillah Muhammad bin Abubakar bin Ayyub bin Su'ad bin Hariz az-Zar'i ad-Dimasyqi, dan dikenal dengan sebutan Ibnul Qoyyim. Beliau adalah ahli fiqih bermazhab Hanbali. Disamping itu juga seorang ahli Tafsir, ahli hadits, penghafal Al-Quran, ahli ilmu nahwu, ahli ushul, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid. Beliau adalah salah seorang murid seorang imam dan mujtahid, Syaikhul-Islam Taqiyuddin Ahmad ibn Taymiyyah al-Harani ad-Dimasyqi yang wafat tahun 728 H.
            Ibn Rajab menuturkan bahwa Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah telah menerima pengeyahuan dari asy-Syihab an-Nabulsi dan juga dari yang lainnya. Ia juga telah menekuni nazhabnya, cakap dan mampu memberikan fatwa. Ia senantiasa menyertai Ibn Taymiyyah sekaligus mengambil ilmu dari beliau. dan menguasai ilmu-ilmu Islam. Ia adalah seorang ahli tafsir yang tiada bandingnya dan sekaligus ahli ilmu ushuluddin. Ia menguasai ilmu hadits berikut makna-maknanya, pemahamannya serta dasar-dasar pengambilan hukum darinya.
            Selain itu ia menguasai pula ilmu fiqih, ushul fiqih dan bahasa arab, di samping mahir dalam bidang menulis. Ia pun menguasai ilmu kalam dan ilmu-ilmu lainnya. Ia juga seorang alim dalam hal ilmu suluk dan menguasai wacana ahli tasawuf dan tidak menolak sama sekali tasawuf. Kuatnya kesadaran akan perjalanannya ke alam kubur memotivasinya untuk menyebarkan ilmunya.
            Selain itu Imam Ibnul-Qoyyim juga seorang ahli ibadah dan senantiasa menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkannya. Ia mengalami beberapa kali ujian penjara bersama Syaikh Ibn Taymiyyah. Dalam kesempatan terakhir, ia berada di penjara sendirian dan baru dilepaskan setelah syaik Ibn Taymiyyah meninggal. Ia menunaikan haji beberapa kali. Orang-orang banyak mengambil ilmu dan memperoleh manfaat darinya.
            Sementara itu, Burhanuddin Az-Zar'i mengatakan bahwa tidak ada di bawah ufuk bumi ini yang lebih luas ilmunya daripada Ibnul-Qoyyim . Dia telah menulis dengan tangannya karya-karya yang tak dapat digambarkan dan menyusun sejumlah karangan yang banyak sekali tentang berbagai ilmu.
            Ibnul-Qoyyim meninggal dunia pada waktu isya' tanggal 18 Rajab 751 H. Ia dishalatkan di Mesjid Jami' Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami' Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.
















IV
IBNU TAIMIYAH

DA’I DAN MUJAHID BESAR

            “Demi Allah, tidaklah benci kepada Ibnu Taimiyah melainkah orang yang bodoh atau pengikut hawa nafsu.”1)

NAMA DAN NASAB

            Beliau adalah imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid dan Da’i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya; Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela dinullah dan penghidup sunah Rasul shalallahu’alaihi wa sallam yang  telah dimatikan oleh banyak orang, Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy Al-Harrany Ad-Dimasyqy.
            Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang  terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H.
            Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang  tunggangan-pun pada mereka.
            Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta’ala. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat selamat.
PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU

            Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.
            Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
            Suatu  kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang  bocah seperti dia.
            Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar
dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.
            Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir  dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
            Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha’  dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.

PUJIAN ULAMA

            Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali

dalam Kitabnya Al-Kawakib AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam yang  memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya:  Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.
            Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah ….. dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta lebih  ittiba’ dibandingkan beliau.”
            Al-Qadhi Abu  Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”
            Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini ?”
            Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia …..” 
Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.
            Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi  kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.”
            Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: “Dia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu,  zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.
Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna  mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah  sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu  itu yang  bisa menyamai atau mendekati tingkatannya  ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu  bukanlah hadist.

DA’I, MUJAHID, PEMBASMI BID’AH DAN
PEMUSNAH MUSUH

            Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da’i yang tabah, liat, wara’, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang  pemberani  yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan penanya.
            Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: “…… tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan
komando untuk menyerbu dan memberikan peringatan keras supaya tidak lari …” Akhirnya dengan izin Allah Ta’ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
            Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.

KEHIDUPAN PENJARA

            Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: “Sesungguhnya aku  menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.”
Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata:
“Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!!
Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku.
Aku, terpenjaraku adalah khalwat
Kematianku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara: 
“ Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.”
            Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah.
            Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari’at  Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.
            Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul bid’ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal. Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.
            Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.

WAFATNYA

            Beliau wafatnya di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Al-‘Allamah  Ibnul Qayyim Rahimahullah.
            Beliau berada di penjara ini selamaa dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur’an. Dikisahkan, dalam tiap harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur’an delapan puluh atau delapan puluh satu kali.
            Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa.
            Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.
            Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan menurut  ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.
            Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da’i, mujahidd, pembasmi  bid’ah dan pemusnah musuh. Wallahu a’lam.
Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.
1)  Dinukil  dari buku: Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli, cet II 1397 H/1977 M. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah-Dimasyq. hal. Depan.
            Di Damaskus ia belajar pada banyak guru. Ilmu hitung, khat, Nahwu, Ushul fiqih merupakan bagian dari ilmu yang diperolehnya. Di usia belia ia telah mereguk limpahan ilmu utama dari manusia utama. Dan satu hal ia dikaruniai Allah Ta'ala kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda , ia telah hafal Al-qur'an.
            Tak hanya itu, iapun mengimbangi ketamakannya menuntut ilmu dengan kebersihan hatinya. Ia amat suka menghadiri majelis-majelis mudzakarah (dzikir). Pada usia tujuh belas tahun kepekaannya terhadap dunia ilmu mulai kentara. Dan umur 19, ia telah memberi fatwa.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai rijalul Hadits (perawi hadits) dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filosof . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikul Ibnul Warid bahwa karangan beliau mencapai lima ratus judul.
Al-Washiti mengemukakan: "Demi Allah, syaikh kalian (Ibnu Taymiyyah) memiliki keagungan khuluqiyah, amaliyah, ilmiyah dan mampu menghadapi tantangan orang-orang yang menginjak-injak hak Allah dan kehormatanNya."

MUJAHID DAN MUJADDID

            Dalam perjalanan hidupnya, beliau juga terjun ke masyarakat menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Ia tak mengambil sikap uzlah melihat merajalelanya kema'syiyatan dan kemungkaran. Suatu saat, dalam perjalanannya ke Damaskus, disebuah warung yang biasa jadi tempat berkumpulnya para pandai besi, ia melihat orang bermain catur. Ia langsung mendatangi tempat itu untuk mengambil papan catur dan membalikkannya. Mereka yang tengah bermain catur hanya termangu dan diam.
            Beliau juga pernah mengobrak-abrik tempat pemabukkan dan pendukungnya. Bahkan, pernah pada suatu jum'at, Ibnu Taymiyyah dan pengikutnya memerangi penduduk yang tinggal digunung jurdu dan Kasrawan karena mereka sesat dan rusak aqidahnya akibat perlakuan tentara tar-tar yang pernah menghancurkan kota itu. Beliau kemudian menerangkan hakikat Islam pada mereka.
            Tak hanya itu, beliau juga seorang mujahid yang menjadikan jihad sebagai jalan hidupnya. Katanya: "Jihad kami dalam hal ini adalah seperti jihad Qazan, jabaliah, Jahmiyah, Ittihadiyah dan lain-lain. Perang ini adalah sebagian nikmat besar yang dikaruniakan Allah Ta'ala pada kita dan manusia. Namun kebanyakan manusia tak banyak mengetahuinya."
            Tahun 700 H, Syam dikepung tentara tar-tar. Ia segera mendatangi walikota Syam guna memecahkan segala kemungkinan yang terjadi. Dengan mengemukakan ayat Alqur'an ia bangkitkan keberanian membela tanah air menghalau musuh. Kegigihannya itu membuat ia dipercaya untuk meminta bantusan sultan di Kairo. Dengan argumentasi yang matang dan tepat, ia mampu menggugah hati sultan. Ia kerahkan seluruh tentaranya menuju Syam sehingga akhirnya diperoleh kemenangan yang gemilang.
            Pada Ramadhan 702 H, beliau terjun sendiri kemedan perang Syuquq yang menjadi pusat komando pasukan tar-tar. Bersama tentara Mesir, mereka semua maju bersama dibawah komando Sultan. Dengan semangat Allahu Akbar yang menggema mereka berhasil mengusir tentara tar-tar. Syuquq dapat dikuasai.

PANDANGAN DAN JALAN FIKIRAN

            Pemikiran Ibnu Taymiyyah tak hanya merambah bidang syar'I, tapi juga mengupas masalah politik dan pemerintahan. Pemikiran beliau dalam bidang politik dapat dikaji dari bukunya Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah fi naqdh Kalam as-Syi'ah wal Qadariyah (Jalan Sunnah Nabi dalam pemyangkalan terhadap keyakinan kalangan Syi'ah dan Qadariyah), As-Siyasah as-Syar'iyah (Sistem Politik Syari'ah), Kitab al-Ikhriyaratul 'Ilmiyah (Kitab aturan-aturan yuridis yang berdiri sendiri) dan Al-Hisbah fil Islam (Pengamat terhadap kesusilaan masyarakat dalam Islam)
            Sebagai penganut aliran salaf, beliau hanya percaya pada syari'at dan aqidah serta dalil-dalilnya yang ditunjukkan oleh nash-nash. Karena nash tersebut merupakan wahyu yang berasal dari Allah Ta'ala. Aliran ini tak percaya pada metode logika rasional yang asing bagi Islam, karena metode semacam ini tidak terdapat pada masa sahabat maupun tabi'in. Baik dalam masalah Ushuludin, fiqih, Akhlaq dan lain-lain, selalu ia kembalikan pada Qur'an dan Hadits yang mutawatir. Bila hal itu tidak dijumpai maka ia bersandar pada pendapat para sahabat, meskipun ia seringkali memberikan dalil-dalilnya berdasarkan perkataan tabi'in dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan.
            Menurut Ibnu Taymiyyah, akal pikiran amatlah terbatas. Apalagi dalam menafsirkan Al-Qur'an maupun hadits. Ia meletakkan akal fikiran dibelakang nash-nash agama yang tak boleh berdiri sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan mentakwilkan qur'an, kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan oleh hadits. Akal fikiran hanyalah saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil Al-Qur'an.
            Bagi beliau tak ada pertentangan antara cara memakai dalil naqli yang shahih dengan cara aqli yang sharih. Akal tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli. Bila ada pertentangan antara aqal dan pendengaran (sam'i) maka harus didahulukan dalil qath'i, baik ia merupakan dalil qath'i maupun sam'i.

POLEMIK IBNU TAYMIYAH

            Pribadi Ibnu Taymiyyah memiliki banyak sisi. Sebuah peran yang sering terlihat adalah kegiatannya menentang segala bid'ah, khurafat dan pandangan-pandangan yang menurutnya sesat. Tak heran jika ia banyak mendapat tantangan dari para ulama.
            "Sesungguhnya saya lihat ahli-ahli bid'ah, orang-orang yang besar diombang-ambingkan hawa nafsu seperti kaum mufalsafah (ahli filsafat), Bathiniyah (pengikut kebathinan), Mulahadah (mereka yang keras menentang Allah) dan orang-orang yang menyatakan diri dengan wihdatul wujud (bersatunya hamba dengan khaliq), Dahriyah (mereka yang menyatakan segalanya waktu yang menentukan), Qadhariyah (manusia berkehendak dan berkuasa atas segala kemauannya), Nashiriyah, Jamhiyah, Hulliyah, mu'thilah, Mujassamah, Musyibihah, Rawandiyah, Kilabiyah, Salimiyah dan lain-lain yang terdiri atas orang-orang yang tenggelam dalam kesesatan, dan mereka yang telah tertarik masuk kedalamnya penuh sesat. Sebagian besar mereka bermaksud melenyapkan syari'at Muhammad yang suci, yang berada diatas segala agama. Para pemuka aliran sesat tersebut menyebabkan manusia berada dalam keraguan tentang dasar-dasar agama mereka. Sedikit sekali saya mendengan mereka menggunakan Al-qur'an dan hadits dengan sebenarnya. Mereka adalah orang-orang zindiq yang tak yakin dengan agama. Setelah saya melihat semua itu, jelaslah bagi saya bahwa wajib bagi setiap orang yang mampu untuk menentang kebathilan serta melemahkan hujjah-hujjah mereka, untuk mengerahkan tenaganya dalam menyingkap keburukkan-keburukkannya dan membatalkan dalil-dalilnya." Demikian diantara beberapa pendapatnya yang mendapat tantangan dari mereka yang merasa dipojokkan dan disalahkan.
            Tahun 705 H, kemampuan dan keampuhan Ibnu Taymiyyah diuji. Para Qadhi berkumpul bersama sultan di istana. Setelah melalui perdebatan yang sengit antara mereka, akhirnya jelah bahwa Ibnu Taymiyyah memegang aqidah sunniyah salafiyah. Banyak diantara mereka menyadari akan kebenaran Ibnu Taymiyyah.
            Namun, upaya pendeskriditan terhadap pribadi Ibnu Taymiyyah terus berlangsung. Dalam sebuah pertemuan di Kairo beliau dituduh meresahkan masyarakat melalui pendapat-pendapatnya yang kontroversial. Sang qadhi yang telah terkena hasutan memutuskan Ibnu Taymiyyah bersalah. Beliau diputuskan tinggal dalam penjara selama satu tahun beberapa bulan.
            Dalam perjalanan hidupnya, ia tak hanya sekali merasakan kehidupan penjara. Tahun 726 H, berdasarkan fakta yang diputar balikkan, Sultan megeluarkan perintah penangkapannya. Mendengar ini ia berujar, "Saya menunggu hal itu. Disana ada masalah dan kebaikkan banyak sekali."
            Kehidupan dalam penjara ia manfaatkan untuk membaca dan menulis. Tulisan-tulisannya tetap mengesankan kekuatan hujjah dan semangat serta pendapat beliau. Sikap itu malah mempersempit ruang gerak Ibnu Taymiyyah. Tanggal 9 Jumadil Akhir 728 H, semua buku, kertas, tinta dan pena-nya dirampas. Perampasan itu merupakan hantaman berat bagi Ibnu Taymiyyah. Setelah itu ia lebih banyak membaca ayat suci dan beribadah. Memperbanyak tahajjud hingga keyakinanya makin mantap.
            Setelah menderita sakit selama dua puluh hari, beliau menghadap Rabbnya sesuai dengan cita-citanya: mati membela kebenaran dalam penjara.
            Hari itu, tanggal 20 Dzulqaidah 728 H pasar-pasar di Damaskus sepi-sepi. Kehidupan berhenti sejenak. Para Emir, pemimpin, ulama dan fuqaha, tentara, laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil semuanya keluar rumah. Semua manusia turun kejalan mengantar jenazahnya.

ULAMA-ULAMA PEMBELA DAKWAH SALAFIYAH DAHULU HINGGA SEKARANG -SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH RAHIMAHULLAH.

            Adapun pada abad-abad pertengahan, (sebagaimana yang sudah saya katakan), dalam waktu yang singkat ini saya tidak bisa menyebutkan setiap ulama untuk setiap abad. Saya hanya akan menyebutkan orang-orang yang memiliki tanda-tanda yang menonjol.
            Kami menyebutkan pada abad-abad pertengahan, pada abad ke delapan, Syaikhul Islam, seorang ulama besar, seorang imam, Abul Abbas, Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam, Ibnu Taimiyah, An-Numairi, Ad-Dimasyki, Al-Harani –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-. Beliau telah menulis kitab-kitab, menyusun tulisan-tulisan, menempatkan kaidah-kaidah, dan menjawab masalah-masalah.
            Demi Allah, demi Allah dan demi Allah hampir saya bersumpah secara khusus, bahwasanya tidak ada syubhat yang kamu hadapi di masa-masa ini. Setelah delapan abad dari kematian Imam ini, wahai saudaraku yang mendapatkan taufik, di dalam masalah aqidah dan agama yang termasuk masalah-masalah ahli bid’ah lalu kamu mencarinya di dalam kitab-kitabnya, kamu teliti di dalam tulisan-tulisannya dan risalah-risalahnya, atau fatwa-fatwa dan jawaban-jawabannya, maka kamu akan mendapatkan jawabannya. Jika kamu tidak mendapatkannya, maka hal itu disebabkan ketidak mampuan dalam mencarinya, bukan karena Ibnu Taimiyah tidak menyebutkan jawaban. Masalah ini saya harapkan agar dipahami secara baik. Sehingga nampak kemampuan Imam ini, kekuatan ilmunya, keluasan akalnya, kegeniusan otaknya –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-.
            Apabila kamu ingin tahu kedudukan Ibnu Taimiyyah, maka ketahuilah bahwa Ibnul Qayyim adalah muridnya. Apabila kamu ingin tahu ukuran kegeniusan yang diberikan oleh Allah kepada Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Imam Ibnu Katsir termasuk muridnya. Daftar nama-nama muridnya akan menjadi panjang dengan menyebutkan : Al-Mizzi, Ibnu Rajab, Ibnu Abdul Hadi, yang termasuk murid-muridnya atau murid-murid sahabat-sahabatnya dari kalangan imam-imam besar yang memenuhi sejarah Islam. Saya tidak hanya mengatakan, mereka memenuhi perpustakaan Islam saja. Bahkan mereka memenuhi sejarah Islam dengan kesungguhan, perjuangan, ilmu, akhlaq, adab, tingkah laku mereka dan banyak lagi hal-hal lainnya.
            Imam Ibnu Taimiyah juga pada masanya, dia hidup pada masa bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian. Mulai fitnah Tartar sampai fitnah Rawafidh, juga fitnah tersebarnya madzhab Asy’ariyah yang menyimpang dan lain-lainnya. Dia turun di setiap medan bagai tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata lembing. Dia menulis, berjihad, dan membela. Dia diperdaya, dimusuhi, dan bersabar. Hingga pada suatu saat dia mendapat kehormatan dari sebagian sulthan (penguasa). Sulthan tersebut datang kepada Ibnu Taimiyah dengan membawa musuh-musuhnya yang memfitnah tentang dirinya, memenjara, menyakiti, mengusir dan mendzaliminya. Sulthan berkata kepadanya : “Apa yang akan kamu lakukan kepada mereka ?” Dia menjawab : “Saya memberi maaf kepada mereka”. Maka mereka kagum kepadanya. Mereka berkata : “Wahai Ibnu Taimiyah, kami mendzalimimu dan kamu mampu untuk membalasnya, tetapi kamu memberikan maaf?” Dia menjawab : “Ini adalah akhlak orang-orang beriman”. Memang, akhlak ini tidak dimilki kecuali oleh orang-orang istimewa saja. Yaitu, kamu memberi maaf, padahal kamu pada posisi yang tinggi, terlebih-lebih setelah banyak didzalimi oleh orang yang diberi maaf. Oleh karena itu, apabila kita membaca sejarah, kita tidak mendengar seorang yang namanya Bakri dan Akhna’i kecuali karena Ibnu Taimiyah telah membantah keduanya. Nama Ibnu Taimiyah selalu naik dan melambung sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?”[Alam Nashrah : 4]
            Imam Ibnul Qayyim berkata tentang ayat ini : “Sesungguuhnya setiap orang yang menolong sunnah, meninggikan sunnah dan mendukung Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” [Alam Nashrah : 4] Setiap orang yang merusak sunnah dan menentang Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Alllah.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus” [Al-Kautsar : 3]
            Mereka (musuh-musuh sunnah) itu terputus. Sedangkan mereka (penolong-penolong sunnah) mendapatkan pertolongan dan derajat ketinggian.
            Lihatlah anjuran dan  jihad Ibnu Taimiyah terhadap bangsa Tartar dalam peperangan Syaqhab. Ada orang yang berkata : “Sesungguhnya kami pasti akan menang!”. Maka Ibnu Taimiyah berkata kepadanya : “Katakanlah insya Allah!”. Dia berkata : “Saya mengatakan insya Allah sebagai perwujudan bukan penundaan”. Karena dia percaya kepada pertolongan Allah. Merasa tenang dengan taufik dari Allah, dan bertawakal kepada Allah, maka Allah mencukupinya.
            Inilah Ibnu Taimiyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Diantaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Ar-Razi yang telah membangun madzhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab, yang dinamakan dengan At-Ta’sis. Ibnu Taimiyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid. Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman. Dibantah oleh Ibnu Taimiyah dengan kitab sebanyak 4 jilid. Berisi tentang penjelasan kesesatan Jahmiyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah halamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah dicetak dan selebihnya insya Allah akan dicetak dalam waktu dekat.
            Dia juga menulis bantahan kepada Al-Amidi, Al-Ghazali, dan lain-lainnya dalam sebuah kitab yang besar sekali yang diberi nama “ Dar’u Ta’arudil Aql wan Naql”. Kitab tersebut punya nama lain. Kedua nama tersebut adalah nama satu kitab. Sebagian orang menyangka dua nama kitab itu untuk dua kitab. Yaitu kitab “Muwafaqatu Shahihil Manqul li Shahihi Ma’qul” yang di tulis untuk membantah kelompok di atas.
            Dia juga menulis bantahan kepada kelompok Syi’ah yang buruk, dengan sebuah kitab yag diberi nama “Minhajus Sunnah Nabawiyah fi Naqdi Kalamisy Syi’atil Qadariyah” Dia menulis 10 jilid sebagai bantahan kepada salah satu pembesar mereka yang bernama Al-Muthahhar Al-Hilli atas kitabnya yang berjudul Minhajul Karomah. Dia membantahnya dalam 10 jilid.
            Kelompok Syi’ah sudah dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka selalu mencari kesalahan apa saja yang dilihatnya, kecuali Ibnu Taimiyah. Bahkan sampai sekarang mereka tidak bisa membantah dan menjawab hujjah-hujjah dan dalil-dalilnya. Oleh karena itu kamu melihat mereka diam, membisu, tidak mau berbicara. Kitab tersebut masih tetap dicetak, diterbitkan, bahkan diterjemahkan dan dipelajari. Di hadapan kitab tersebut tidak bisa bergerak. Inilah Ibnu Taimiyah, seorang imam yang merupakan ulama terbesar bagi da’wah yang agung dan penuh berkah ini.
            Dengan melihat sejarah dan riwayat hidupnya, akan didapatkan banyak hal tentang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang terlintas secara khusus dalam diri adalah suatu hal, yaitu bahwa Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara karena tipu daya dan di fitnah oleh musuh-musuhnya di hadapan Sulthan (penguasa). Meskipun demikian, ahli sejarah mengatakan tatkala Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara dan dikeluarkan jenazahnya, maka semua penduduk Damaskus keluar, kecuali empat orang karena takut. Bila mereka keluar akan dibunuh oleh orang-orang. Penduduk Damaskus semuanya keluar kepada jenazahnya. Oleh karena itu perkataan yang masyhur dari Imam Besar Ahmad bin Hambal adalah :       “Katakanlah kepada ahlul bid’ah perjanjian antara kami dan kalian adalah hari jenazah”.
Kalau kita melihat muridnya, Imam Ibnul Qayyim (yang saya katakan) dan saya berharap tidak berlebih-lebihan : “Dia adalah murid terbaik dari ulama terbaik sepanjang abad”. Dia memahami prinsip-prinsip dakwah Ibnu Taimiyah. Mengolah kaidah-kaidahnya, kenyang dari semua sisi-sisinya, menimba dari semua sumber-sumbernya, dan melebihi syaikhnya dalam sesuatu yang tidak dicapai oleh syaikhnya, yaitu keindahan tutur katanya dalam menerangkan. Tetapi saya ingin mengoreksi kepada diri saya dengan mengatakan, bahwa kita tidak mendapatkan perkataan Ibnu Taimiyah yang indah dalam karangannya, sebagaimana kita mendapatkan pada Ibnul Qayyim. Bukan berarti Ibnu Taimiyah tidak memiliki kemampuan yang sempurna dari sekedar membuat karangan dan melebihi Ibnul Qayyim. Tetapi karena kemampuannya atau kehidupannya penuh dengan cobaan. Beliau tidak memiliki waktu dan kesabaran yang cukup untuk menyusun makna-makna dan kata-kata sebagaimana yang dimiliki oleh muridnya Ibnul Qayyim. Ini adalah masalah yang sangat penting untuk dicermati.
            Diantara hal-hal yang berkaitan dengan Ibnu Taimiyah, saya akan menyebutkan suatu yang penting. Bahwa Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah memiliki perkataan yang indah, yang dia terapkan sendiri pada dirinya, dan disebarkan oleh murid-murid beliau. Sampai sekarang kita mengulang-ulanginya, karena perkataan itu diambil dari firman Allah. Perkataan itu adalah.
“Dengan kesabaran dan keyakinan, keimanan dalam agama dicapai”
Perkataan ini dibenarkan oleh firman Allah.
“Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” [As-Sajdah : 24]
            Inilah Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang sangat masyhur dalam dakwah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla.





V
IMAM AL-GHAZALI

RIWAYAT SINGKAT IMAM BUKHARI

            Beliau dilahirkan pada bulan syawal tahun 194 H di negeri bukhara, yang sekarang di kenal sebagai bagian dari negeri soviet. Beliau adalah seorang yang sangat alim di bidang hadits. Beliau menyusun sebuah kitab yang kesahihannya telah disepakati oleh umat islam dari jaman dahulu hingga sekarang.
            Imam bukhari pernah ditanya oleh seseorang:' Bagaimana mulanya engkau berkecimpung dalam bidang hadits ini? Maka beliau mengatakan : saya diilhami untuk menghafal hadits ketika saya bersama dengan para penulis hadits. Berapa usiamu pada waktu itu? Dia menjawab 10 tahun, atau kurang. Saya lalu keluar dari kelompok para penulis itu dan selanjutnya saya selau menemani ad dakhili dan ulama lainnya. Ketika saya telah berkecimpung di bidang ini saya telah hafal ibnul mubarak dan waqi'. Saya lalu pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaraku , sesudah selesai berhaji , saudaraku lalu mengantarkan ibuku pulang, sedangkan saya memperdalam dan mematangkan diri dalam bidang hadits.
            Imam bukahari selanjutnya berkelana ke berbagai daerah seperit nisabur, baghdad, bashrah, kufah, mekkah, madinah, syam dan mesir untuk mendapatkan hadits dari sejumlah ulama.
            Beliau menulis kitabnya yang bernama tarikh di masjid nabawi, sejumlah buku yang memuat nama-nama rijal ( Orang).
            Imam bukhari pada waktu kecil pernah mendatangi para ulama yang sedang bersama para muridnya, karena beliau masih kecil beliau malu memberi salam pada mereka. Suatu ketika beliau ditanya oleh seorang alim: berapa hadits yang sudah kau tulis hari ini? Imam bukhari menjawab: Dua" orang-orang yang ada di sekitarnya mentertawakannya. Alim itu pun berkata" kalian jangan mentertawakannya, boleh jadi suatu hari kalian akan ditertawakannya.
            Beliau berkata: suatu kali saya bersama ishak ibnu rahawaih, lalu ada sejumlah temanku yang berkata kepadaku " alangkah baiknya kalau sekiranya engkau kumpulkan sunnah nabi sholallohu alaihi wasalam dalam sebuh kitab yang singkat. Hal tersebut mengena dalam hatiku , maka saya mulai mengumpulkannya dalam kitab ini (Kitab sahih Bukhari).
            Beliau berkata : kitab ini saya pilihkan dari 600 ribu hadits. beliau juga berkata : tidaklah aku tulis satu hadits dalam kitab ini kecuali saya wudlu/mandi dan sholat dua rekaat.
            Imam bukari berkata: saya menulis hadits dari 1000 orang alim atau lebih. Tidak ada satu pun hadits yang ada padaku kecuali kusebutkan isnadnya.
            Imam bukhari meninggal pada tahun 256 H pada malam hari raya idhul fitri pada usia 62 tahun. Kubur beliau terletak di bikharnatk dekat dengan samarkand.
Imam Al Ghazali, sebuah  nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yangmengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

NAMA, NASAB DAN KELAHIRAN BELIAU

            Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
            Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
            Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

KEHIDUPAN DAN PERJALANANNYA MENUNTUT ILMU

            Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
            Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
            Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
            Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
            Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
            Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
            Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
            Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

PENGARUH FILSAFAT DALAM DIRINYA

            Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
            Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
            Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
            Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

POLEMIK KEJIWAAN IMAM GHAZALI

            Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
            Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
            Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
            Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
            Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

MASA AKHIR KEHIDUPANNYA

            Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
            Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

KARYA-KARYANYA

            Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
  5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
            Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul.
             Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
            Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
            Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi.
            Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).
            Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
            Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).
            Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).
            Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

AQIDAH DAN MADZHAB BELIAU

            Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
            Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya
memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
            Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
            Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).
            Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
            Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
            Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
            Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan,
 “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
            Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”













VI
IMAM AL AJURRI

IMAM AL AJURRI :

            Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Al Husein bin Abdillah Al Baghdadi Al Ajurri. Kunyah beliau Abu Bakr. Beliau berasal dari sebuah desa di bagian barat kota Baghdad yang bernama Darbal Ajur. Beliau lahir dan tumbuh di sana.

PARA GURU BELIAU

Imam Al Ajurri menimba ilmu dari segolongan ulama terkenal, di antaranya :

1. Imam Ibrahim bin Abdillah bin Muslim bin Ma’iz Abul Muslim Al Bashri Al Kajji. Beliau adalah Al Hafidh , Al Mu’ammar, Shahibus Sunan . Imam ini adalah guru terbesar Imam Al Ajurri. Syaikh Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 190 H dan wafat tahun 292 H di Baghdad. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Bashrah dan dimakamkan di sana.
2. Imam Abul Abbas Ahmad bin Sahl bin Al Faizuran Al Usynani. Beliau adalah Syaikhul Qurra’ di Baghdad. Beliau wafat pada tahun 307 H.
3. Imam Abu Abdillah Ahmad bin Al Hasan bin Abdil Jabbar bin Rasyid Al Baghdadi. Beliau bergelar Al Muhadits Ats Tsiqatul Mu’ammar. Beliau dilahirkan di Hudud tahun 210 H dan wafat tahun 306 H.
4. Imam Abu Bakr Ja’far bin Muhammad bin Al Hasan bin Al Mustafadl Al Firyani. Beliau adalah Al Hafidh Ats Tsabt dan Syaikh di masanya. Beliau lahir pada tahun 207 H dan wafat pada tahun 301 H.
5. Imam Abu Bakr Al Qasim bin Zakaria bin Yahya Al Baghdadi. Beliau adalah Al ‘Allamah , Al Muqri’ , Al Muhadits, Ats Tsiqah . Beliau terkenal dengan gelar Al Muthariz (penyulam). Beliau lahir di Hudud tahun 220 H dan wafat tahun 305 H.
6. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Yahya bin Ishaq Al Bajali Al Hulwani. Beliau adalah Al Muhadits, Ats Tsiqah, Az Zahid . Beliau tinggal di Baghdad dan wafat tahun 296 H.
7. Imam Abul Abbas Ahmad bin Zanjuwiyah bin Musa Al Qathan. Beliau adalah Al Muhadits, Al Mutqin , dianggap tsiqah dan terkenal. Beliau wafat tahun 304 H.
8. Imam Abul Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abdil Aziz bin Al Marzuban. Beliau adalah Al Hafidh, Al Hujjatul Mu’ammar, dan Al Musnid di masanya. Berasal dari Bagha’ dan lahir pada tahun 214 H dan bertempat tinggal di Baghdad serta wafat tahun 317 H. Beliau dikebumikan pada hari Iedul Fithri.
9. Imam Abu Syu’aib Abdullah bin Al Hasan bin Ahmad bin Abu Syu’aib Al Harrani. Beliau adalah Al Muhadits, Al Mu’ammar, Al Mu’dab. Lahir tahun 206 H dan wafat tahun 295 H.
10. Imam Abu Muhammad Khalaf bin ‘Amr Al ‘Ukbari. Beliau adalah Al Muhadits, Ats Tsiqatul Jalil . Beliau lahir tahun 206 H dan wafat tahun 296 H.
11. Al Imam Abu Bakr Abdullah bin Sulaiman bin Al Asy’ats As Sijistani. Beliau adalah Al ‘Allamah, Al Hafidh, dan Syaikh di Baghdad. Beliau termasuk lautan ilmu. Sebagian orang ada yang menganggap bahwa beliau lebih utama daripada ayahnya. Beliau menulis Sunan, Mushaf, Syari’atul Qari’, Nasikh Mansukh, Al Ba’ts, dan lain-lain. Beliau lahir di Sijistan tahun 230 H dan wafat tahun 316 H.

MURID-MURID BELIAU

Di antara murid-murid beliau yang terkenal adalah :

1. Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al Mihrani Al Ashbahani. Beliau adalah Al Hafidh, Ats Tsiqah, Al ‘Allamah. Beliau adalah cucu Az Zahid Muhammad bin Yusuf Al Banna’. Beliau adalah penulis kitab Al Hilyah dan banyak karya lainnya. Beliau lahir tahun 336 H dan wafat tahun 425 H.
2. Imam Abul Qasim Abdul Malik Muhammad bin Abdillah bin Bisyran. Beliau adalah Al Irak. Beliau lahir tahun 339 H dan wafat tahun 430 H.
3. Imam Abul Husein Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Bisyran. Beliau adalah Asy Syaikh, Al ‘Alim, Al Mu’adil, Al Musnid. Al Khatib berkata tentang beliau : “Dia sempurna muru’ah -nya, kokoh menjalankan agama, shaduq , dan tsabit.” Beliau lahir tahun 328 H dan wafat tahun 415 H.
4. Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Umar At Tajibi Al Mishri Al Maliki Al Bazzaz. Beliau adalah Asy Syaikh, Al Fakih, Al Muhadits, Ash Shaduq, dan Musnid Mesir. Beliau terkenal dengan gelar Ibnu Nahhas. Beliau lahir tahun 323 H dan wafat tahun 416 H.
5. Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Umar bin Hafsh Al Hamami Al Baghdadi. Beliau adalah Al Muhadits dan Muqri’ Irak. Al Khatib mengatakan bahwa beliau sangat jujur, taat beragama, terhormat, sulit dicari tandingannya dalam sanad-sanad qira’ah dan memiliki ketinggian sanad di masanya. Lahir 328 H dan wafat 417 H.
6. Al Imam Abu Bakr bin Abu Ali Ahmad bin Abdurrahman Al Hamadani Adz Dzakwan Al Ashbahani. Beliau adalah Al ‘Alim, Al Hafidh, dan termasuk Rijal Ats Tsiqah. Abu Nu’aim mengatakan tentang beliau : “Dia mempersaksikan dan menyampaikan hadits selama 60 tahun, akhlaknya baik dan kokoh madzhabnya. Beliau lahir tahun 333 H dan wafat tahun 419 H.
7. Syaikh Abul Husein Muhammad bin Al Husein bin Muhammad bin Al Fadl Al Baghdadi Al Qahthani. Beliau adalah Al ‘Alim, Ats Tsiqat, Al Musnid . Beliau lahir tahun 335 H dan wafat tahun 415 H.

KEILMUAN BELIAU DAN KOMENTAR PARA ULAMA TENTANGNYA

1. Ibnu Nadim berkata : “Dia faqih, shalih, dan ahli ibadah.”
2. Al Khatib berkata : “Dia tsiqah, shaduq (sangat jujur), taat beragama, dan memiliki banyak karya.”
3. Ibnu Jalkan berkata : “Dia faqih, bermadzhab Syafi’i, muhadits, penulis kitab Arba’in dan terkenal dengannya, shalih dan ahli ibadah.”
4. Yaqut berkata : “Dia faqih bermadzhab Syafi’i, tsiqah, dan menulis banyak karya.”
5. Ibnul Jauzi dalam kitab As Shawatus Shafwah mengatakan : “Dia tsiqah, taat beragama, alim, dan banyak menulis karya.”
6. Ibnu Subki dalam Thabaqat-nya mengatakan : “Dia faqih, muhadits, pemilik beberapa karangan.”
7. Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ berkata : “Dia seorang imam, muhadits, panutan, Syaikh di Al Haram, shaduq, ‘abid , shahibus sunan, dan ahli ittiba’ .”

8. Suyuthi mengatakan : “Dia ‘alim dan mengamalkan ilmu ahli sunnah.”
            Dari ucapan para ulama di atas diketahui bahwa beliau termasuk ulama yang beramal dengan ilmunya, seorang faqih yang ahli hadits, serta penjaga Kitabullah. Para ulama tersebut juga sepakat bahwa beliau termasuk orang yang tsiqat dan berpegang teguh dengan sunnah. Beliau juga seorang pengarang yang meninggalkan pengaruh yang jelas dalam perbendaharaan Islam.

KARYA-KARYA BELIAU

Imam Al Ajurri mewariskan beberapa karya di antaranya :
- Yang Telah Dicetak :
1. Akhlaq Ahlil Qur’an
2. Akhlaqul Ulama
3. Akhbar Umar bin Abdil Aziz
4. Al Arba’in Haditsan
5. Al Ghuraba’
6. Tahrimun Nard was Satranji wal Malahi
7. Asy Syari’ah
8. At Tashdiq bin Nadhar Ilallah

 YANG MASIH BERUPA MANUSKRIP (TULISAN TANGAN) :
9. Adabun Nufus
10. Ats Tsamainin fil Hadits
11. Juz’un min Hikayat As Syafi’i wa Ghairihi
12. Fardlu Thalabil Ilmi
13. Al Fawaid Al Muntakhabah
14. Wushulul Masyaqin wa Nuzhatul Mustami’in
YANG HILANG :

15. Ahkamun Nisa’
16. Akhlaq Ahli Bir wat Tuqa
17. Aushafus Sab’ah
18. Taghyirul Azminah
19. At Tafarud wal ‘Uzlah
20. At Tahajud
21. At Taubah
22. Husnul Khuluq
23. Ar Ru’yah
24. Ruju’ Ibni Abbas ‘anis Sharf
25. Risalah ila Ahlil Baghdad
26. Syarah Qasidah As Sijistani
27. As Syubuhat
28. Qishatul Hajaril Aswad wa Zam-Zam wa Ba’du Sya’niha
29. Qiyamul Lail wa Fadllu Qiyamir Ramadlan
30. Fadllul Ilmi
31. Mukhtasharul Fiqh
32. Mas’alatut Tha’ifin
33. An Nasihah

WAFAT BELIAU

            Sebagian para ulama mengatakan bahwa ketika beliau masuk ke kota Mekkah yang beliau kagumi, beliau berdo’a : “Ya Allah, berilah rezki kepadaku dengan tinggal di sana selama setahun.” Lalu beliau mendengar bisikan : “Bahkan 30 tahun !” Akhirnya beliau tinggal selama 30 tahun dan wafat di sana tahun 320 H. demikian keterangan Ibnu Khalqan.
Al Khatib berkata : “Aku membaca cerita itu di lantai kubur beliau di Mekkah.” Ibnul Jauzi berkata bahwa Abu Suhail Mahmud bin Umar Al Akbari berkata bahwa ketika Abu Bakr sampai di Mekkah dia merasa kagum dengannya dan berdo’a : “Ya Allah, hidupkan aku di negeri ini walau hanya setahun.” Tiba-tiba ia mendengar bisikan : “Hai Abu Bakr, kenapa hanya setahun ? Tiga puluh tahun !” Ketika menginjak tahun ketiga puluh, beliau mendengar bisikan lagi : “Wahai Abu Bakr, sudah kami tunaikan janji itu.” Kemudian wafatlah beliau di tahun itu.

MADZHAB BELIAU

            Beliau bermadzhab Syafi’i menurut sebagian ulama. Namun ulama lain seperti Al Isnawi mengatakan bahwa sebagian orang membantah ke-Syafi’i-an beliau dan mengatakan bahwa beliau bermadzhab Hanbali. Al Isnawi mengatakan hal itu setelah dia mengatakan bahwa Imam Al Ajurri pengikut madzhab Syafi’i. Demikian pula keterangan Abu Ya’la dalam kitab beliau Tabaqat Al Hanabilah.














VII
IMAM AL-MUZANNIY

            Beliau adalah saudara wanita dari al-Muzanniy, sahabat Imam asy-Syafi'iy. Namanya anonim alias tidak dikenal.
            Nampaknya beliau juga pernah menghadiri majlis pengajian yang diadakan oleh Imam asy-Syafi'iy dan kajian-kajian fiqihnya.
            Imam ar-Râfi'iy telah menukil dari dalam masalah zakat barang tambang…Dia telah menyebutkan pendapat yang shahih bahwa persyaratan Haul (putaran setahun penuh) pada barang tambang tidak disyaratkan…Kemudian dia berkata, "Di sana terdapat pendapat yang lain, yaitu bahwa persyaratan itu adalah harus. Pendapat ini dinukil oleh al-Buwaithiy juga dan diriwayatkan oleh al-Muzanniy di dalam kitabnya "al-Mukhtashar" dari orang yang dipercayainya dari asy-Syafi'iy yang kemudian menjadi pendapat pilihannya. Dia (ar-Rifa'iy) meneruskan, "Dan sebagian para pensyarah menyebutkan bahwa saudara al-Muzanniy telah meriwayatkan pendapat itu untuknya, namun dia tidak suka menyebutkan nama saudaranya tersebut."
            Al-Asnawiy berkata, "Aku tidak tahu persis kapan tahun wafatnya."
Sementara saudara lelaki wanita ini, al-Muzanniy adalah seorang Imam madzhab Syafi'iy, sahabat Imam asy-Syafi'iy sendiri yang berasal dari Mesir. Dia adalah seorang ahli zuhud, 'alim, mujtahid dan memiliki hujjah yang kuat. Dia dinisbahkan kepada Muzayyanah - dari suku Mudlar -.
            Dalam hal ini, Imam asy-Syafi'iy berkata, "al-Muzanniy adalah pembela madzhabku." Dan ketika mengomentari betapa dia memiliki hujjah yang kuat, beliau berkata, "Andaikata dia mendebat syaithan, dia pasti menang!."
Al-Muzanniy memiliki beberapa karya tulis dan wafat pada tahun 264 H.




























VIII
IMAM AT-THAHAWI AL-HANAFI

            Beliau adalah seorang imam pakar penghafal hadits. Nama beliau, Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Salaamah bin Salaamah bin Abdil Malik Al-Adzi Al-Hajari Al-Mishri Ath-Thahawi Al-Hanafi.  Beliau dilahirkan di Buthha, sebuah desa di negeri Mesir, yang sekarang ini masuk wilayah muhafazah (setingkat kabupaten) al-Meniya. Belai dilahirkan pada tahun 239 H, ada juga yang mengatakan 237 H. dibesarkan dirumah kediaman yang penuh ilmu dan keutamaan. Ayah belai adalah seorang ulama. Sedangkan pamannya, Al-Imam Al-Muzanni, sahabat Al-Imam Asy-Syafi'I yang membantu menyebarluaskan ilmu beliau.
            Al-Imam ath-Thahawi belajar pada pamannya sendiri Al-Muzanni dan mendengar periwayatan pamannya dari Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah. Tatkala beliau menginjak usia 20 tahun, beliau meninggalkan madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i, dan beralih ke madzhab Al-Imam Abu Hanifah.
            Diantara guru-guru beliau selain pamannya, Al-Muzanni, juga Al-Qadhi Abu Ja'far Ahmad bin Imran Al-Baghdadi, Al-Qadhi Abu Khazim Abdul Hamid bin Abdul 'Aziz al-Baghdadi, Yunus bin Abdul 'Ala Al-Mishri dan lain-lain.
            Diantara murid-murid beliau: Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Manshur, Ahmad bin Al-Qasim bin Abdillah Al-Baghdadi yang dikenal dengan Ibnul Khasysyab Al-Hafizh, Abul Hasan Ali bin Ahmad Ath-Thahawi dan lain-lain.
            Al-Imam Ath-Thahawi adalah orang berilmu yang memiliki keutamaan. Beliau menguasai sekaligus Ilmu Fikih dan Hadits, serta cabang-cabang keilmuan lainnya. Baliau menjadi wakil dari Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin 'Abdah, seorang qadhi di Mesir.
            Ibnu Yunus memberi pernyataan tentang beliau: Beliau orang yang bagus hafalannya dan terpercaya, alim, jenius dan tak ada yang menggantikan beliau. Ibnul Jauzi dalam Al-Muntazham menyatakan: seorang penghafal yang terpercaya, bagus pemahamannya, alim dan jenius. Ibnu Katsir juga menyatakan dalam Al-Bidayah wa Nihayah :Beliau adalah seorang penghafal yang terpercaya sekaligus pakar penghafal hadits.
            Pada Awal bulan Dzul-Qa'idah dalam usia delapan puluh tahun lebih, beliau wafat. Tepatnya pada tahun 321 H.




















XIX
IMAM AL-BUKHORI
            Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ja'fi Al Bukhari -rahimahullah- . Lahir pada bulan Syawwal tahun 194 H.

GURU-GURU BELIAU

            Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari hadits (ilmu) ke seluruh penjuru dunia. Beliau belajar hadits di Khurasan, Al Jibal, Iraq, Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya. Diantara guru-gurunya adalah : Makki bin Ibrahim, Abdan bin Utsaman Al Muruzi, Abu 'Ashim Asy Syaibani, Muhammad bin Abdulloh Al Anshori, Muhammad bin Yusuf, Abu Walid Ath Thayalisi, ABdulloh bin Maslamah Al Qa'nabi, Abu Bakar Al Humaidi, Abdullah bin Yusuf, Abul Yaman,Ismail bin abu uwais, Muhammad bin Katsir, Khalid Al Mukhalid, Ali Ibnu Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in dan masih banyak lagi –rahimakumullah. Beliau sering pergi ke baghdad dan mengajarkan hadits disana.

IBADAH DAN MUAMALAH BELIAU

            Bakar Abu Said berkata," Ada seseorang yang membawakan barang dagangan kepada Muhammad bin Ismail (Al Bukhori), dan setelah Isya' berkumpullah beberapa pedagang untuk mengambil dagangan tersebut dengan memberi untuk 5000 dirham. Beliau menyetujui dan berkata kepada merka," Pulanglah kalian malam ini," Pagi harinya datang para pedagang lain yang ingin mengambil dagangan tersbut dengan memberikan keuntungan 10000 dirham, namun beliau menolaknya dan berkata,"Saya sudah meniatkan untuk memberikan barang dagangan ini kepada para pedagang yang telah datang tadi malam, dan saya tidak senang membatalkan niat saya."
            Bakar Abu Said juga berkata," Pada suatu hari Muhammad bin Ismail merasa terganggu ketika sedang sholat. Selesai sholat dia berkata kepada para sahabatnya," Lihatlah ini ! apa yang menggangguku di waktu sedang sholat.!",Maka mereka melihatnya, ternyata lalat penyengat telah menyengat sebanyak 17 tempat, akan tetapi dia tidak memutuskan sholatnya. Tatkala para sahabatnya menanyakan mengapa tidak memutuskan sholat sejak awal, dia menjawab," Karena saya sedang sholat, saya lebih suka untuk menyempurnakannya."
            Nasj bin Said berkata," Ketika awal malam bulan ramadhan, para sahabat Al Bukhori berkumpul bersamanya. Beliau sholat bersama mereka dengan membaca 20 ayat setiap rakaat. Setiap waktu sahur beliau membaca Al Qur'an lebih dari sepertiganya, dan menghatamkannya selama 3 hari juga pada waktu sahur. Jika pda waktu tersebut beliau tidak menghatamkan, maka beliau sempurnakan/selesaikan pada waktu iftar (bebuka puasa) sambil berdoa."
Muhammad bin Yusuf berkata," Pada suatu malam saya bersama Muhammad bin Ismail Al Bukhori di rumahnya. Saya menghitung dia bangun untuk menyalakan lampu lalu mudzakarah (menelaah) sesuatu ampai 18 kali, dan pada waktu sahur beliau melakukan sholat lain 13 rakaat dengan witir 1 rakaat."




PUJIAN ULAMA KEPADANYA

            Muhammad bin Abu Hatim mendengar Imam Al Bukhori berkata," Tatkala masuk ke kota Bashrah, saya bermajelis dengan Muhammad bin Basyar, ketika keluar majelis, dia melihatku. Dia bertanya kepadaku,"Darimana kamu wahai pemuda?", Maka akupun menjawab," dari penduduk Bukhara.". Bagaimana kamu justru meninggalkan Abu Abdillah Al Bukhori dan tidak belajar kepadanya?," keluhnya. Maka para Sahabat Muhammad bin Basyar berkata kepadanya,"Semoga engkau merahmati engkau. Dialah Abu Abdillah (Al Bukhori ) itu." lantas Muhammad bin Basyar memegang tanganku dan memelukku. Kemudian beliau berkata," Selamat atas kedatangan orang yang besar lagi mulai yang telah kami tunggu sejak dua tahun lalu."
            Muhammad bin Ishaq berkata," Saya tidak melihat dibawah kolong langit ini yang lebih alim tentang hadits daripada Muhammad bin Ismail Abu Abdillah."
            Abu Ja'far Abdullah bin Muhammad Al Ja'fi berkata," Muhammad bin Ismail dalah seorang imam. maka barangsiapa yang tidak menjadikannya sebagai imam, maka ia pantas untuk dicurigai."

KEDALAMAN ILMU HADITSNYA

            Para ulama dari berbagai negeri seperti Bashrah, Syam, Hjaz, dan Kufah menaruh hormat kepada Al bukhori.
            Pernah Imam Al Bukhori datang ke baghdad, dan kedatangannya didengar oleh para Ulama Ahlul Hadits, mereka berkumpul dan bersepakat untuk menguji Imam Bukhori dengan 100 hadits. Mereka membolak-balik matan (isi hadits) dan sanad (para periwayat hadits)nya. dan menyerahkan  hadits yang sudah dibolak bailk tersebut kepada 10 orang, sehingga setiap orang mendapat jatah 10 hadits. Ketika hari yang sudah ditentukan untuk bermajelis telah tiba, datanglah para Ahli hadits baik dari Maghrib, Khurasan, Baghdad dan tempat lainnya. tatkala suasana majelis sudah nampak tenang, mulailah salah seorang dari 10 orang tadi menyampaikan hadits yang telah dibolak balikkan itu, dan setiap selesai membacakan satu hadits dia bertanya kepada Imam Al Bukhori tentag hadits tersebut, maka Imam Al Bukhori menjawab," Aku tidak tahu tentang hadits tersebut." lalu dibacakanlah lagi hadits berikutnya dan ditanyakan lagi kepadanya. Dia menjawab lagi "Tidak tahu." demikian sampai 10 hadits. para Ahli hadits yang hadir di majelis saling berpandangan satu sama lain dan berkata," Jawaban al Bukhori itu menunjukkan dia orang yang lemah dan sedikit hafalan serta pemahamannya." lalu mulailah orang kedua, ketiga, kempat sampai selesai 10 orang yang membacakan semua hadits yang dibolak balik tadi sehingga mencapai 100 hadits. dan setiap ditanya tentang hadits yang dibacakan kepadanya, Imam bukhori tetap menjawab," Saya tidak tahu hadits tersebut." Tidak lebih dari itu. Ketika Imam Bukhori mengetahui pembacaan hadits-hadits tersebut telah selesai, maka beliau menghadap kepada orang orang pertama yang membacakan hadits tadi dan berkata," Adapun haditsmu yang pertama seperti itu maka yang benar begini, haditsmu yang kedua begitu, maka yang benar begini dan seterusnya sampai 10 hadits. Beliau mengembalikan matan dan sanad hadits yang telah dibolak balik sebagaimana semula. demikianlah yang diperbuat Imam Al Bukhori kepada 10 orang tersebut. Hingga manusia menetapkan kuatnya hafalan Imam Al Bukhori dan keutamaannya.

MAJELIS IMAM AL BUKHORI

            Abu Ali Shalih bin Muhammad Al Bagdadi berkata bahwa ketika Muhammad bin Ismail menyampaikan hadits-haditsnya beberapa kali di baghdad, yang hadir pada setiap majelisnya lebih dari 20.000 orang. Perkataan serupa juga disampaikan Muhammad bin Yusuf.
            Al Bukhori berkunjung ke Bashrah, dan berada di dalam Masjid jami', tatkala ada orang yang mengetahuinya, maka dia umumkan kedatangannya kepada penduduk Bashrah, mereka meminta kepadanya untuk membuah sebuah majelis ilmu. maka berkumpullah para penuntut ilmu termasuk orang-orang tua, para ahli fiqih, ahli hadits para huffazh hingga berjumlah ribuan orang, sehingga keluar ungkapan," Telah hadir pada hari ini Sayyidul fuqoha' (penghulu para ahli fiqih).

HIKMAH

            Abu Sa'id Bakar bin Munir berkata bahwa Al Amir (penguasa) Khalid bin AHmad Adz Dzuhli mengirim utusan ke Bukhara kepada Muhammad bin Ismail agar mengajarkan kitab jami', At tarikh dan seterusnya (secara privat), Maka Muhammad bin Ismail berkata kepada utusan tersebut,"Sesungguhnya kami tidak merendahkan ilmu, dan tidak mengajarkan kerumah-rumah. Jika engkau membutuhkan ilmu tersebut maka datanglah ke masjid saya atau rumah saya, jika tidak, engkau dalah penguasa, mampu melarang saya untuk bermajelis, sehingga saya memiliki udzur di hadapan Alloh Azza wa Jalla pada hari kiamat. Karena saya tidak akan menyembunyikan ilmu, sebab Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,"
barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lantas dia menyembunyikannya maka dia akan dikekang dengan tali kekang dari neraka."
            Imam Bukhori berkata," gerakan, suuara dan tulisan mereka adalah makhluq, adapaun Al Qur'an yang dibaca, yang tetap dalam mushaf yang tertulis dan yang terjaga (dihafal) dalam hati, maka itu adalah kalam Allah dan bukan makhluq, Alloh Azza wa Jalla berfirman," Sebenarnya, Al Qur'an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu," [QS Al Ankabut 49]
            Ibrahim bin Muhammad setelah penyelenggaraan jenazah Muhammad bin ismail berkata bahwa Shahibul Qishar kemarin bertanya kepada Muhammad bin Ismail," Wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Al Qur'an?' Beliau menjawab," Al Quran adalah kalamulloh bukan makhluq" Kemudian aku (Ibrahim bin Muhammad ) berkata," Manusia menyangka engkau mengatakan apa-apa yang terdapat dalam mushaf itu bukan Al Qur'an ! dan ayat-ayat yang berada di dalam dada-dada manusia juga bukan Al Qur'an." Maka beliau menjawab," Astaghfirrullah, engkau bersaksi terhadap sesuatu yang tidak kau dengar dariku. Maka aku katakan sebagaiman firman Alloh Azza wa Jalla ," Demi Thur dan demi kitab yang tertulis." [QS Ath Thur 1-2]

WAFAT BELIAU

Abdul Wahin bin Adam berkata," Saya melihat Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam didalam mimpi bersama para sahabatnya. beliau berhenti/berdiri pada suatu tempat. Aku mengucapkan salam kepada beliau dan beliaupun menjawab salamnya. Aku bertanya," Mengapa berhenti disini wahai Rosululloh?." Beliau menjawab," Aku menunggu Muhammad bin Ismail Al Bukhori." , Setelah beberapa hari maka datanglah kabar tentang kematian Imam Al Bukhari, dan tatkala saya perhatikan waktu kematian beliau, ternyata tepat saat aku bermimpi bertemu dengan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .
            Abul Hasan bin Salim berkata," Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari meninggal pada malam sabtu malam idul fitri tahun 256 H."

SEKILAS SEJARAH

            Yahya bin Ja'far berkata," Seandainya saya mampu  untuk menambah usia Muhammad bin Ismail Al Bukhori, maka akan saya lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang biasa, namun kematian Al Bukhori adalah hilangnya ilmu."
            Muhammad Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya terilham/menghafal hadits ketika masih dalam asuhan belajar.” Lalu saya bertanya, “Umur berapakah anda pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang.” (Riwayat al-Farbari dari Muhammad Ibnu Abi Hatim, seorang juru tulis al-Imam al-Bukhari).
            Suatu ketika al-Imam al-Bukhari tiba di Baghdad. Kehadiran beliau didengar oleh para ahlul hadits negeri itu. Maka, berkumpullah mereka untuk menguji kehebatan hafalan beliau tentang hadits.
            Syah dan para ulama tersebut sengaja mengumpulkan seratus buah hadits. Susunan, urutan dan letak matan serta sanad seratus hadits tersebut sengaja dibolak-balik. Matan dari sebuah sanad diletakkan untuk sanad lain, sementara suatu sanad dari sebuah matan diletakkan untuk matan lain dan begitulah seterusnya. Seratus buah hadits itu dibagikan kepada sepuluh orang tim penguji, hingga masing-masing mendapat bagian sepuluh buah hadits. Maka tibalah ketetapan hari yang telah disepakati. Berbondong-bondonglah para ulama dan tim penguji itu, serta para ulama dari Khurasan dan negeri-negeri lain serta penduduk Baghdad menuju tempat yang telah ditentukan.
            Ketika suasana majlis telah menjadi tenang, salah seorang dari kesepuluh tim penguji mulai memberikan ujiannya. Beliau membacakan sebuah hadits yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya kepada al-Imam al-Bukhari. Ketika ditanyakan kepada beliau, al Imam al-Bukhari menjawab, “Saya tidak kenal hadits itu.” Demikian seterusnya satu persatu dari kesepuluh hadits penguji pertama itu dibacakan, dan al-Imam al-Bukhari selalu menjawab, “Saya tidak kenal hadits itu.”
            Beberapa ulama yang hadir saling berpandangan seraya bergumam, “Orang ini berarti faham.” Akan tetapi ada di kalangan mereka yang tidak mengerti, hingga menyimpulkan bahwa al-Imam al-Bukhari terbatas pengetahuannya dan lemah hafalannya.
            Orang kedua maju. Beliau juga melontarkan sebuah hadits yang telah dibolak-balik sanad dan matannya, yang kemudian dijawab pula, “Saya tidak kenal hadits itu”. Begitulah, orang kedua ini pun membacakan sepuluh hadits yang menjadi bagiannya, dan seluruhnya dijawab beliau, “Saya tidak kenal hadist itu.”
            Begitulah selanjutnya orang ketiga, keempat, kelima hingga sampai orang kesepuluh, semuanya membawakan masing-masing sepuluh hadits yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya. Dan al-Imam al-Bukhari memberikan jawaban tidak lebih daripada kata-kata, “Saya tidak kenal hadits itu.”
            Setelah semuanya selesai menguji, beliau kemudian menghadap orang pertama seraya berkata, “Hadits yang pertama anda katakan begini, padahal yang benar adalah begini, lalu hadits anda yang kedua anda katakan begini padahal yang benar seperti ini. Begitulah seterusnya hingga hadits kesepuluh disebutkan oleh beliau kesalahan letak sanad serta matannya, dan kemudian dibetulkannya kesalahan itu hingga semua sanad dan matannya menjadi benar kedudukannya.
            Demikian pula seterusnya yang dilakukan oleh al-Bukhari kepada para penguji berikutnya hingga sampai kepada penguji kesepuluh. Maka, orang-orang pun lantas mengakui serta menyatakan kehebatan hafalan serta kelebihan beliau. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “Yang hebat bukanlah kemampuan al-Bukhari dalam mengembalikan kedudukan hadits-hadits yang salah, sebab beliau memang hafal, tetapi yang hebat justru             hafalnya beliau terhadap kesalahan yang dilakukan oleh para penguji tersebut secara berurutan satu persatu hanya dengan sekali mendengar.”

SIAPAKAH AL-IMAM AL-BUKHARI

            Beliau adalah Abu Abdillah, bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja’fi. Kakek moyang Bardizbah (begitulah cara pengucapannya menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani) adalah orang asli Persia. Bardizbah, menurut penduduk Bukhara berarti petani. Sedangkan kakek buyutnya, al-Mughirah bin Bardizbah, masuk Islaam di tangan al-Yaman al-Ja’fi ketika beliau datang di Bukhara. Selanjutnya nama al-Mughirah dinisbatkan (disandarkan) kepada al-Ja’fi sebagai tanda wala’ kepadanya, yakni dalam rangka mempraktekkan pendapat yang mengatakan, bahwa seseorang yang masuk Islam, maka wala’nya kepada orang yang mengislamkannya.
            Adapun mengenai kakeknya, Ibrahim bin al-Mughirah, Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “Kami tidak mengetahui (menemukan) sedikit pun tentang kabar beritanya.” Sedangkan tentang ayahnya, Ismail bin Ibrahim, Ibnu Hibban telah menuliskan tarjamah (biografi)-nya dalam kitabnya ats-Tsiqat (orang-orang yang tsiqah/terpercaya) dan beliau mengatakan, “Ismail bin Ibrahim, ayahnya al-Bukhari, mengambil riwayat (hadits) dari Hammad bin Zaid dan Malik. Dan riwayat Ismail diambil oleh ulama-ulama Irak.” Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga telah menyebutkan riwayat hidup ismail ini di dalam Tahdzibut Tahdzib. Ismail bin Ibrahim wafat ketika Muhammad (al-Bukhari) masih kecil.

KELAHIRAN DAN WAFATNYA

            Dilahirkan di Bukhara, sesudah shalat Jum’at pada tanggal 13 Syawal 194 H. Beliau dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang ilmiah, tenang, suci dan bersih dari barang-barang haram. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim, ketika wafat seperti yang diceritakan oleh Muhammad bin Abi Hatim, juru tulis al-Bukhari, bahwa aku pernah mendengar Muhammad bin Kharasy mengatakan, “Aku mendengar bahwa Ahid Hafs berkata, “Aku masuk menjenguk Ismail, bapaknya Abu Abdillah (al-Bukhari) ketika beliau menjelang wafat, beliau berkata, “Aku tidak mengenal dari hartaku barang satu dirham pun yang haram dan tidak pula satu dirham pun yang sybhat.”
            Al-Bukhari wafat di Khartank sebuah desa di negeri Samarkhand, malam Sabtu sesudah shalat Isya’, bertepatan dengan malam Iedul fitri, tahun 256 H dan dikuburkan pada hari Iedul Fitri sesudah shalat Zhuhur. Beliau wafat dalam usia 62 tahun kurang 13 hari dengan meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA

            Ketika ayahnya wafat, beliau masih kecil, sehingga beliau besar dan dibesarkan dalam asuhan ibunya. Beliau mencari ilmu ketika masih kecil dan pernah menceritakan tentang dirinya seperti disebutkan oleh al-Farbari dari Muhammad bin Abi Hatim. Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Aku pernah mendengar al-Bukhari mengatakan, “Aku diilhami untuk menghafal hadits ketika masih dalam asuhan mencari ilmu.” Lalu aku bertanya, “Berapa umur anda pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang… dan seterusnya hingga perkataan beliau, “Ketika aku menginjak umur enam belas tahun, aku telah hafal kitab-kitab karya Ibnul Mubarak dan Wakil. Dan aku pun tahu pernyataan mereka tentang Ash-hab (Ahlu) ra’yu”. Beliau berkata lagi, “Kemudian aku berangkat haji bersama ibuku dan saudaraku, setelah menginjak usia delapan belas tahun, aku telah menyusun kitab tentang sahabat dan tabi’in. Kemudian menyusun kitab tarikh di Madinah di samping kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika malam terang bulan.” Beliau melanjutkan perkataannya, “Dan setiap kali ada nama dalam at-Tarikh tersebut, pasti aku mempunyai kisah tersendiri tentangnya, tetapi aku tidak menyukai jika kitabku terlalu panjang.”
            Semenjak kecil beliau sibuk menggali ilmu dan mendengarkan hadits dari berbagai negeri, seperti di negerinya sendiri. Dan beliau telah beberapa kali mengunjungi Baghdad, hingga penduduk di sana mengakui kelebihannya dan penguasaannya terhadap ilmu riwayah dan dirayah.
            Begitulah, singkatnya beliau telah mengunjungi berbagai kota di Irak dalam rangka mencari ilmu hadits dari tokoh-tokoh negeri tersebut, misalnya Bashrah, Balkh, Kufah dan lain-lain. Beliau telah mendengarkan dan menggali hadits dari sejumlah banyak tokoh pembawa hadits. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Abi Hatim, bahwasanya beliau berkata, “Aku tidak pernah menulis melainkan dari orang-orang yang mengatakan bahwa al-Iman adalah ucapan dan tindakan.”

JUMLAH HADITS YANG DIHAFAL

            Muhammad bin Hamdawaih mengatakan, “Aku mendengar al-Bukhari berkata, bahwa aku hafal seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits tidak shahih.”

KITAB-KITAB YANG DISUSUN

            Yang paling pokok adalah kitab al-Jamiush shahih (Shahihul Bukhari) yaitu kitab hadits tershahih diantara kitab hadits lainnya. Selain itu beliau menyusun juga ktiab al-Adabul Mufrad, Raf’ul Yadain fish Shalah, al-Qira’ah khalfal Iman, Birrul Walidain, at-Tarikh ash-Shagir, Khalqu Af’aalil ‘Ibaad, adl-Dlu’afa (hadits-hadits lemah), al-Jaami’ al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, at-Tafsir al-Kabir, Kitabul Asyribah, Kitabul Hibab, Asaami ash-Shahabah (Nama-nama para shahabat) dan lain sebagainya.
CONTOH KEKAGUMAN ORANG TERHADAP AL-
BUKHARI

            Al-Imam al-Bukhari rahimahullah, merupakan barometer bagi guru-gurunya dan manusia yang tahu dan hidup pada zamannya maupun sesudahnya. al-Imam al-Hafizh adz-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani telah menyebutkan secara khusus tentang pujian dan jasa-jasa beliau dalam kitabnya masing-masing. Adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul huffaazh dan Ibnu Hajar dalam Tahdzibut Tahdzib.
            Berikut ini beberapa contoh pujian dan kekaguman mereka. Muhammad bin Abi Hatim mengatakan, bahwa aku mendengar Yahya bin Ja’far al-Baikundi berkata, “Seandainya aku mampu menambahkan umur Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) dengan umurku, niscaya aku lakukan sebab kematianku hanyalah kematian seorang sedangkan kematiannya berarti lenyapnya ilmu.”
Raja’ bin Raja’ mengatakan, “Dia, yakni al-Bukhari, merupakan satu ayat di antara ayat-ayat Allah yang berjalan di atas permukaan bumi.”
Abu Abdullah al-Hakim dalam Tarikh Naisabur berkata, “Dia adalah Imam Ahlul hadits, tidak ada seorang pun di antara Ahlul Naql yang mengingkarinya.”

SHAHIHUL JAMI’ ATAU SHAHIH BUKHARI

            Seluruh hadits yang termuat di dalamnya adalah hadits-hadits shahih yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan semua Mu’allaqaat dalam Shahih al-Bukhari dinyatakan shahih oleh para ulama Ahlul hadits. Adapun contoh pernyataan ulama tentang Shahih al-Bukhari seperti dikatakan al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wan Nihaayah, “Para ulama telah bersepakat menerimanya (yakni Shahihul Bukhari) dan menerima keshahihan apa-apa yang ada di dalamnya, demikian pula seluruh ahlul Islam.”
            Jadi di samping Shahih Muslim, Shahih al-Bukhari adalah kitab tershahih nomor dua setelah al-Qur’an sebagaimana disebutkan dan disepakati oleh para ulama, di antaranya oleh as-Subakti.

TERUSIRNYA IMAM AL-BUKHARI DARI BUKHARA

            Ghonjar  mengatakan dalam kitab Tarikhnya, “Aku mendengar Ahmad bin Muhammad bin Umar berkata, “Aku mendengar Bakar bin Munir mengatakan, “Amir Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhail, amir penguasa Bukhara, mengirim utusan kepada Muhammad bin Ismail, yang isinya, “Bawalah padaku kitab Jaami’ush Shahih dan at-Tarikh supaya aku bisa mendengar dari kamu.” Maka, berkatalah al-Bukhari kepada utusan tersebut, “Katakanlah kepadanya bahwa sesungguhnya aku tidak akan merendahkan ilmu dan aku tidak akan membawa ilmuku itu ke hadapan pintu para sultan. Apabila dia butuh (jika ilmu itu dikehendaki), maka hendaknya dia datang kepadaku di masjidku atau di rumahku. Kalau hal ini tidak menyenangkan wahai sultan, maka laranglah aku untuk mengadakan majlis ilmu, supaya pada hari kiamat aku punya alasan di hadapan Allah bahwa aku tidak menyembunyikan ilmu.” Ghonjar mengatakan, “Inilah yang menyebabkan terjadinya krisis di antara keduanya.”
            Al-Hakim berkata, “Aku mendengar Muhammad bin al-‘Abbas adh-Dhobby mengatakan, “Aku mendengar Abu Bakar bin Abu Amr berkata, “Perginya Abu Abdillah al-Bukhari dari negeri Bukhara disebabkan Khalid bin Ahmad Khalifah bin Thahir meminta beliau untuk hadir di rumahnya supaya membacakan kitab at-Tarikh dan al-Jaami’ush Shahih kepada anak-anaknya, tapi beliau menolak. Beliau katakan, “Aku tidak mempunyai waktu jika hanya orang-orang khusus yang mendengarkannya (mendengarkan ilmuku, pen). Maka Khalid bin Ahmad meminta tolong kepada Harits bin Abi al-Warqa` dan lainnya dari penduduk Bukhara untuk bicara mempermasalahkan madzhabnya. Akhirnya Khalid bin Ahmad mengusir beliau dari Bukhara.
            Demikianlah sekelumit tentang Imam Bukhari, beliau juga pernah difitnah sebagai orang yang mengatakan, bahwa bacaanku terhadap al-Qur’an adalah makhluk. Padahal beliau tidak mengatakan demikian dan bahkan secara tegas beliau membantah bahwa orang yang membawa berita tersebut adalah pendusta. Beliau bahkan mengatakan, “Bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk, sedangkan perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk.” (lihat Hadyu as-Sari Muqadimah Fathul Bari bagian akhir halaman 490-491). Wallahu a’lam.












X
AL IMAM FUDHAIL BIN 'IYADH RAHIMAHULLAH

            Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan.Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.
            Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.
            Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:


أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَماَ نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتاَبَ مِنْ قَبْلُ فَطاَلَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فاَسِقُوْنَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16)
            Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”
            Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan makanan beliau dan keluarganya.
            Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.
            Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.
Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H.



























XI
IMAM AHMAD BIN HAMBAL

            Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani. Beliau lahir di kota Baghdad pada bulan rabi'ul Awwal tahun 164 H (780 M), pada masa Khalifah Muhammad al Mahdi dari Bani abbasiyyah ke III. Nasab beliau yaitu Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hajyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahal Tsa'labah bin akabah bin Sha'ab bin Ali bin bakar bin Muhammad bin Wail bin Qasith bin Afshy bin Damy bin Jadlah bin Asad bin Rabi'ah bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Jadi beliau serumpun dengan Nabi karena yang menurunkan Nabi adalah Muzhar bin Nizar.Menurut sejarah beliau lebih dikenal dengan Ibnu Hanbal (nisbah bagi kakeknya).
            Dan setelah mempunyai beberapa orang putra yang diantaranya bernama Abdullah, beliau lebih sering dipanggil Abu Abdullah. Akan tetapi, berkenaan dengan madzabnya, maka kaum muslimin lebih menyebutnya sebagai madzab Hanbali dan sama sekali tidak menisbahkannya dengan kunyah tersebut.
            Sejak kecil, Imam Ahmad kendati dalam keadaan yatim dan miskin, namun berkat bimbingan ibunya yang shalihah beliau mampu menjadi manusia yang teramat cinta pada ilmu, kebaikan dan kebenaran. Dalam suasana serba kekurangan, tekad beliau dalam menuntut ilmu tidak pernah berkurang. Bahkan sekalipun beliau sudah menjadi imam, pekerjaan menuntut ilmu dan mendatangi guru-guru yang lebih alim tidak pernah berhenti. Melihat hal tersebut, ada orang bertanya, Sampai kapan engkau berhenti dari mencari ilmu, padahal engkau sekarang sudah mencapai kedudukan yang tinggi dan telah pula menjadi imam bagi kaum muslimin ? Maka beliau menjawab, Beserta tinta sampai liang lahat.
            Beliau menuntut ilmu dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya. Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya bin Sa'id al Qathan, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki' bin Jarah, Muhammad bin Idris asy Syafi'i dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dll. dalam ilmu hadits, beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.
            Meskipun Imam Ahmad seorang yang kekurangan, namun beliau sangat memelihara kehormatan dirinya. Bahkan dalam keadaan tersebut, beliau senantiasa berusaha menolong dan tangannya selalu di atas. Beliau tidak pernah gusar hatinya untuk mendermakan sesuatu yang dimiliki satu-satunya pada hari itu. Disamping itu, beliau terkenal sebagai seorang yang zuhud dn wara''. Bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan serta menyibukkan diri dengan dzikir dan membaca Al Qur'an atau menghabiskn seluruh usianya untuk membersihkan agama dan mengikisnya dari kotoran-kotoran bid'ah dan pikiran-pikiran yang sesat.
            Salah satu karya besar beliau adalah Al Musnad yang memuat empat puluh ribu hadits. Disamping beliau mengatakannya sebagai kumpulan hadits-hadits shahih dan layak dijadikan hujjah, karya tersebut juga mendapat pengakuan yang hebat dari para




ULAMA-ULAMA PEMBELA DAKWAH SALAFIYAH DAHULU HINGGA SEKARANG -IMAM BESAR AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH-

            Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki dakwah Salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya dakwah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti itu, para penuntut ilmu syar’i juga telah mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syarat terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga sayarat-syarat lain, yang sekarang kami tidak membicarakannya dan menyebutkannya. Termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam dakwah Salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah dakwah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayaikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masayaikhnya adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayaikhnya, dan seterusnya. Orang yang datang kemudian, mengambil dari orang yang sebelumnya. Seorang murid mengambil dari syaikhnya. Anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung kepada orang-orang yang terpercaya dari kalangan ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat majlis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari topik pembicaraan majlis.
            Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana-sini, mengaku-ngaku bermanhaj Salaf dan mengaku-ngaku menjalankah sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah-masalah
manhaj dan perkara-perkara aqidahnyanya. Disamping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal (terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang-kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih)..
            Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan-pengakuan mereka. Sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan-persangkaan dan pemikiran-pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara-saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik-baiknya.
            Memang dakwah kita berdiri diatas silsilah (mata rantai) para ulama terpercaya. Ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu meniadakan perubahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang-orang yang berbuat kebatilan, dan penta’wilan orang-orang bodoh”.
            Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yahmilu hadza al-ilma’ = adalah fi’il mudhari (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang dan akan datang), memberikan faidah terus menerus dan berkesinambungan. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘min kulli kholafinin’ = dari setiap generasi. Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi (sejak dahulu dan sesudahnya), tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah. Orang yang menolong Allah Azza wa Jalla dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang-orang yang menghinakannya sampai terjadi Kiamat dan mereka tetap dalam keadaannya demikian”.
            Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ laa yazaalu “(senantiasa} juga memberi faedah terus menerus. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “ilaa an taqumu as-saa’ah” (sampai terjadi kiamat), menguatkan kepada faidah tersebut.
            Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang-kadang diucapkan dengan makna jama’ah (sekelompok orang). Kadang-kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang didakwahkan oleh ulama-ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar-pembesar kita dalam dakwahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimah Allah dan menegakkan kebenaran.
Sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu
seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama-ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.
            Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majlis yang panjang. Bahkan beberapa majlis, bahkan berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Tetapi, mukaddimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih sebagiannya untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian (bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan), pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Kita akan membicarakan dalam waktu yang pendek ini beberapa petikan singkat yang berkaitan dengan ulama-ulama dakwah Salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang. Beberapa ulamanya yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam dakwah yang penuh berkah ini.
            Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka pondasi pertama dalam dakwah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh penyair.
Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya.
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas.



IMAM BESAR AHMAD BIN HAMBAL
RAHIMAHULLAH

            Dia hidup pada masa bergelombangnya aqidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya : “Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!”. Dia berkata : “Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh ?”.
            Ini adalah salah satu alamat dan pintu dakwah. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari imam kita. Mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia. Menjaga mereka untuk kita, ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimanan, dan amanahnya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan laranganNya dan perintahNya.
            Pribadi Imam Ahmad juga mempengaruhi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Pada zaman ini banyak orang menisbatkan kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, “Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin”, setelah menyebut aqidah Ahlus Sunnah Ashabul Hadits : “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya”. Atau seperti apa yang dia katakan.
            Disini kami menngingatkan suatu hal, yaitu banyak orang-orang khusus maupun orang-orang umum menisbatkan dirinya kepada Abu Hasan Al-Asy’ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya tidak menisbatkan kepadanya, baik dalam aqidah maupun manhajnya.
            Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham Mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata : “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian bersaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham Mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini”. Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam mentaati Allah.
            Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudara fillah, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Keberhasilan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan. Pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham Mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham Mu’tazilah, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya.
            Setelah itu, dalam kitabnya “Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah”, dan dalam kitabnya “Maqalat” yang sudah saya isyaratkan tadi, juga dalam kitabnya “Risalah ila Ahli Tsaghar”, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia diatas aqidah Salafiyah.
            Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Mereka itu tidak berada pada jalan Mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan Salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari Mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abu Hasan dan menyelisihi aqidah Salaf, yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut.
            Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam petikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya. Dia adalah ulama besar sepanjang sejarah dakwah ini pada abad-abad pertama.















XII
IMAM ABU LAYTS

Imam al-Layts bin Sa'd adalah seorang ulama fiqih yang memiliki kapasitas keilmuan setingkat imam-imam madzhab yang empat, bahkan ada para ulama yang mengunggulkannya atas imam Malik dari segi keilmuan. Sayang, tidak ada murid atau pengikut yang menyebarkan madzhab fiqihnya sehingga tidak berkembang seperti para imam madzhab yang empat.

            Dari Lu’luah, pelayan  khalifah Harun ar-Rasyid, ia berkata, “Terjadi silang pendapat antara Harun ar-Rasyid dan anak perempuan pamannya (sepupunya), Zubaidah yang telah menjadi isterinya. Harun berkata, ‘Kamu ditalak bila aku bukan termasuk ahli surga.’ Kemudian beliau menyesal atas ucapannya itu, lalu mengundang para ahli fiqih agar berkumpul guna memecahkan masalahnya. Setelah berkumpul dan berdiskusi, mereka pun berbeda pendapat bagaimana sebenarnya status sumpahnya tersebut. Khalifah Harun menulis surat kepada seluruh negeri agar menghadirkan para ulama terkemuka mereka ke istana. Tatkala mereka sudah berkumpul, ia menanyai mereka mengenai sumpahnya tersebut, yaitu “Kamu ditalak jika aku tidak masuk surga”. Mereka kembali berselisih pendapat, lalu tinggallah seorang ulama (syaikh) lagi yang belum berbicara dan berada di deretan paling akhir dari majlis tersebut. Beliau lah Imam al-Layts bin Sa’d. Ia berkata, ‘Bila Amirul Mukminin mengosongkan majlsnya ini, aku bersedia berbicara dengannya.’ Lalu sang khalifah pun menyuruh para ulama yang ada disitu untuk meninggalkan majlis tersebut. Ia berkata lagi, ‘Saya mohon Amirul Mukminin didekatkan kepadaku.’ Maka ia pun mendekatinya. Syaikh  yang ‘Alim ini berkata, ‘Apakah aku mendapatkan jaminan keamanan kalau berbicara.?” Amirul Mukminin menjawab, ‘Ya.’ Maka al-Layts memerintahkan agar dibawa kepadanya sebuah mushaf. Ketika mushaf itu sudah dihadirkan, ia berkata, ‘Tolong dibuka wahai Amirul Mukminin hingga surat ar-Rahman. Lalu bacalah.’ Sang khalifah membacanya dan tatkala ia sampai pada ayat, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS.ar-Rahman:46) maka, al-Layts memerintahkan, ‘Tahan dulu, wahai Amirul Mukminin! Katakanlah, Wallaahi (Demi Allah).’ Ucapan syaikh ini membuat berat hati khalifah. Syaikh itu kembali berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, persyaratanku tadi adalah jaminan keamanan bukan.? (maksudnya, agar khalifah tidak mruka kepadanya atas permintaannya tersebut-red) Maka khalifah pun mengucapkan, ‘Wallaahi (Demi Allah),’ setelah itu berkatalah al-Layts, ‘Katakanlah, ‘Aku takut akan saat menghadap Tuhanku’ Maka khalifah menuruti perintah ulama langka itu dan mengulangi seperti apa yang diucapkannya. Al-Layts berkata lagi, ‘Wahai Amirul Mukminin, pahalanya dua surga bukan hanya satu surga.’!”
            Periwayat mengatakan, “Lalu kami mendengar suara tepuk tangan dan luapan gembira di balik tirai. Maka berkatalah Harun ar-Rasyid, ‘Bagus apa yang kau putuskan itu.’ Lalu ia menghadiahi al-Layts dengan beberapa hadiah dan mengalokasikan honor untuknya.”
            Ini merupakan sikap mulia yang menunjukkan indahnya ilmu di mana kebenaran dan etika sama-sama dijunjung tinggi.
            Anda melihat bahwa Imam al-Layts mengetahui kemana arah fatwa, yaitu thalaq tersebut tidak jatuh bila ar-Rasyid adalah termasuk orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya. Ia juga melihat dirinya tidak boleh mengeluarkan fatwa begitu saja hingga syaratnya sudah kuat, yaitu takut kepada Allah Ta’ala. Dan ini dilakukan dengan cara meminta ar-Rasyid bersumpah hingga diri al-Layts merasa tenang bahwa fatwanya sudah benar. Ia juga meminta agar orang-orang yang ada di majlis dibubarkan dulu agar sumpah yang dimintanya dari ar-Rasyid tidak dilihat orang banyak, di samping agar ar-Rasyid tidak terpancing seperti yang ingin dilakukannya andaikata ia (al-Layts) tidak terlebih dahulu mengajukan persyaratan mendapatkan perlindungan darinya supaya dirinya bisa tentram. Jadi, fatwa yang dikeluarkan al-Layts tidak semata-mata spontanitas. Ia bersumber dari al-Qur’an itu sendiri, karena itu ia meminta al-Layts agar membaca ayat tersebut, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS.ar-Rahman:46).
            Maka tenanglah hati ar-Rasyid dengan hal itu dan tahulah ia bawha dirinya masih bisa mempertahankan isterinya secara halal dan sah berdasarkan nash yang pasti dari Kalamullah.
            Ini tentunya merupakan anugerah Allah, yang dalam kebanyakan kondisi tidak terlepas dari adab yang bagus bagi orang yang mau berpikir dan memahami.








XIII
AL IMAM AN-NAWAWI

NASAB IMAM AN-NAWAWI

            Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i
            Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau.
Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.

KELAHIRAN DAN LINGKUNGANNYA

            Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana. Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menase-hati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini. Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.

PENGALAMAN INTELEKTUALNYA

            Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.
Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut
Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja

            Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal.
Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi.
            Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.

Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya

            Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; ke dua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’, ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’, ke lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis

            Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an.
            Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘.
            Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.
            Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’, ‘Riyadl ash-Shalihin’, ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’, ‘Rawdlah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’.

BUDI PEKERTI DAN SIFATNYA

            Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’.
  • Zuhud
    Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
  • Wara’
    Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana.
Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah.
Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.
Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya.
Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu.
  • Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.
Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan.
Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja.

Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesung-guhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”. Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.

WAFATNYA

            Pada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus.
Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’.
Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya.
            Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.





XIV
SHILAH BIN ASY-YAM AL-‘ADAWI

            Shilah ibn Asyam al-‘Adawi seorang ahli ibadah dari para ahli ibadah malam...seorang pejuang dari para pejuang siang.
            Apabila kegelapan telah menutupkan tirainya ke alam semesta dan manusia terlelap dalam tidur...ia pun bangkit dan menyempurnakan wudlu, kemudian ia berdiri di mihrabnya dan masuk dalam shalatnya serta mendapatkan suka cita dengan Rabbnya.
            Maka, bersinarlah cahaya ilahi dalam dirinya, menyinari bashirahnya ke penjuru dunia...memperlihatkannya akan ayat-ayat Allah di ufuk.
            Disamping itu semua, ia adalah orang yang hobby membaca al-qur’an di waktu fajar. Apabila sepertiga malam terakhir telah tiba, ia mencondongkan bengkaunnya kepada juz-juz al-qur’an...Mulailah (lidahnya) mentartil ayat-ayat Allah yang jelas dengan suara merdu dan suara tangisan.
            Terkadang ia mendapatkan kelezatan al-qur’an yang menyentuh ke dalam hatinya dan mendapatkan ketakutan kepada Allah dengan akal jernihnya.
Pada sisi lain, ia merasakan al-qur’an berisi ancaman yang memecah hatinya...
            Shilah ibn Asyam tidak pernah bosan dari ibadahnya ini sekalipun. Tidak ada bedanya apakah di rumahnya atau dalam perjalanan, di saat sibuk atau di saat waktu luangnya. Ja’far ibn Zaid menghikayatkan, “Kami keluar bersama salah satu dari pasukan muslimin dalam sebuah perang ke kota “Kabul“ (ibukota Afghanistan, terletak dekat sungai Kabul) dengan harapan Allah akan memberikan kemenangan kepada kami. Dan adalah Shilah ibn Asyam berada di tengah pasukan.
            Ketika malam telah menutupkan tirainya –dan kami berada di tengah perjalanan-, para pasukan menurunkan bekalnya dan menyantap makanannya lalu menunaikan shalat ‘Isya...
            Mereka kemudian pergi menuju ke kendaraannya mencari kesempatan untuk istirahat di sisinya...
            Maka, aku melihat Shilah ibn Asyam pergi menuju ke kendaraannya sebagaimana mereka pergi. Ia lalu meletakkan pinggangnya untuk tidur sebagaimana yang mereka lakukan.
            Aku lantas berkata dalam hati, “Dimanakah yang orang-orang riwayatkan tentang shalatnya orang ini dan ibadahnya serta apa yang mereka sebarkan tentang shalat malamnya hingga kakinya bengkak?! Demi Allah, aku akan menunggunya malam ini hingga aku melihat apa yang dikerjakannya.”
            Tidak lama setelah para prajurit terlelap dalam tidurnya...hingga aku melihatnya bangun dari tidurnya dan berjalan menjauh dari perkemahan, bersembunyi dengan gelapnya malam dan masuk ke dalam hutan yang lebat dengan pepohonannya yang tinggi dan rumput liar. Seakan-akan belum pernah dijamah sejak waktu yang lama.
Aku berjalan mengikutinya...
            Sesampinya ia di tempat yang kosong, ia mencari arah kiblat dan menghadap kepadanya. Ia bertakbir untuk shalat dan ia tenggelam di dalamnya...aku melihatnya dari kejauhan. Aku melihatnya berwajah berseri...tenang anggota badannya dan tenang jiwanya. Seakan-akan ia menemukan seorang teman dalam kesepian, (menemukan) kedekatan dalam jauh dan cahaya yang menerangi dalam gelap.
            Di saat dia demikian...tiba-tiba muncul kepada kami seekor singa dari sebelah timur hutan. Setelah aku merasa aku merasa yakin darinya, bahwa yang datang itu macan hatiku serasa copot saking takutnya. Aku lalu memanjat sebatang pohon yang tinggi untuk melindungiku dari ancamannya.
            Singa tersebut terus saja mendekat kepada Shilah ibn Asyam, sedangkan ia tenggelam dalam shalatnya hingga jaraknya tinggal beberapa langkah saja darinya...Dan demi Allah ia tidak menoleh kepadanya...tidak mempedulikannya...
            Tatkala ia sujud, aku berkata, “Sekarang (saatnya) ia akan menerkamnya.”
            Ketika ia bangkit dari sujudnya dan duduk, singa itu berdiri di hadapannya seakan-akan memperhatikannya.
            Ketika ia salam dari shalatnya, ia memengkaung kepada singa itu dengan tenang...dan menggerakkan kedua bibirnya dengan ucapan yang tidak aku dengar.
            Dan tiba-tiba saja singa tersebut berpaling darinya dengan tenang, dan kembali ke tempat semula.
            Di saat fajar telah terbit, ia bangkit untuk menunaikan shalat fardlu. Kemudian ia mulai memuji Allah AWJ dengan pujian-pujian yang aku belum pernah mendengar yang sepertinya sekalipun.
            Ia kemudian berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu agar menyelamatkan aku dari neraka...Apakah seorang hamba yang berbuat salah seperti aku berani untuk memohon surga kepadaMu?!”
Ia terus saja mengulang-ulangnya hingga ia menangis dan membuatku ikut menangis.
Kemudian ia kembali ke pasukannya tanpa ada seorang pun yang tahu.
            Nampak di mata orang-orang, seakan-akan ia baru bangun dari tidur di kasur. Sedangkan aku kembali dari mengikutinya, dan aku merasa (lelah dari) begadang malam...badan penat...dan ketakutan terhadap singa...dan apa-apa yang Allah Maha Tahu dengannya.
            Di samping itu semua, Shilah ibn Asyam tidak pernah membiarkan satu kesempatan dari kesempatan-kesempatan mauidzah dan peringatan kecuali ia memanfaatkannya.
Dan metodhe dakwahnya adalah ia menyeru kepada jalan Rabbnya dengan hikmah dan mauidzah hasanah. Jiwa-jiwa yang lari ia condongkan (dekatkan)...hati-hati yang keras ia lemahkan (lunakkan).
            Di antaranya, bahwa ia pernah keluar ke daratan di tanah Bashrah untuk khalwah (menyepi) dan beribadah...
            Lalu sekelompok pemuda yang akan bersenang-senang melewatinya...
            Mereka bermain-main...bersendau gurau dan bergembira...
            Ia (Shilah) menyalami mereka dengan halus...
            Dan dengan lembut ia berkata kepada mereka, “Apa yang kalian katakan tentang suatu kaum yang ber’azm untuk safar karena suatu urusan besar, hanya saja mereka di waktu siang berbelok dari jalan untuk berbuat sia-sia dan bermain-main....dan di waktu malam mereka tidur untuk istirahat. Maka kapankah kalian melihat mereka menyelesaikan perjalanannya dan sampai di tempat tujuan?!”
            Dan ia terbiasa mengucapkan kalimat tersebut di saat itu dan pada saat yang lain...
Pada suatu ketika ia bertemu dengan mereka dan ia mengucapkan kata-katanya tersebut kepada mereka...
            Maka, salah seorang pemuda dari mereka bangkit dan berkata, “Sesungguhnya dia –demi Allah- tidak memaksudkan perkataannya kepada siapapun selain kita. Kita di siang hari bermain-main....dan di malam hari tidur...”
            Kemudian pemuda tersebut memisahkan diri dari teman-temannya dan mengikuti Shilah ibn Asyam sejak hari itu. Ia terus menemaninya hingga kematian menjemputnya.
            Di antaranya pula, bahwa pada suatu siang ia pernah pergi bersama sekelompok sahabatnya kepada suatu tujuan. Lalu lewatlah di depan mereka seorang pemuda yang menakjubkan dan bagus penampilannya....
            Pemuda tersebut memanjangkan kain celananya hingga ia menyeretnya di tanah seperti orang sombong...
            Para sahabatanya lalu bermaksud (melakukan tindakan) terhadap pemuda tersebut, mereka ingin mencemoohnya dengan perkataan dan memukulnya dengan keras...
            Maka Shilah berkata kepada mereka, “Biarkan aku, yang akan menyelesaikan urusannya.”
            Ia mendekati pemuda tersebut dan berkata dengan kelembutan seorang ayah yang penuh sayang...dan bahasa seorang sahabat yang jujur, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya aku punya hajat kepadamu.”
            Pemuda itu berhenti, dan berkata, “Apa itu wahai paman?”
Ia berkata, “Hendaklah kamu mengangkat kainmu, sesungguhnya yang demikian itu lebih suci untuk pakaianmu...lebih bertakwa kepada Rabbmu...dan lebih dekat dengan sunnah Nabimu.”
`Dengan rasa malu pemuda itu berkata, “Ya, dengan senang hati...”
            Kemudian ia segera mengangkat kainnya.
            Shilah berkata kepada sahabatnya, “Sesungguhnya yang seperti ini lebih baik daripada apa yang kalian inginkan...kalau seengkauinya kalian memukulnya dan mencemoohnya niscaya ia akan memukul dan mencemooh kalian...dan tetap membiarkan kainnya menjulur menyapu tanah.”
            Pada suatu kali seorang pemuda dari Bashrah mendatangainya dan berkata, “Wahai Abu ash-Shahbaa, ajari aku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.”
            Maka Shilah tersenyum dan berseri wajahnya, dan ia berkata, “Sungguh kamu telah mengingatkan aku -wahai anak saudaraku- tentang kenangan lama yang tidak aku lupakan...dimana pada saat itu aku seorang pemuda sepertimu...Aku mendatangi orang yang tersisa dari sahabat Rasulullah SAW, dan aku berkata kepada mereka, “Ajarilah aku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepada kalian.” Mereka berkata, “Jadikanlah al-Qur’an sebagai penjaga jiwamu dan kebun hatimu. Dengarkan nasehatnya dan nasehatilah kaum muslimin dengannya. Perbanyaklah berdoa kepada Allah AWJ semampumu.”
            Anak muda itu berkata, “Berdoalah untukku, semoga engkau dibalasi dengan kebaikan.”
            Ia menjawab, “Semoga Allah menjadikanmu senang (antusias) untuk memperoleh yang kekal (akhirat)...dan menjadikanmu zuhud terhadap yang fana (dunia)...dan menganugrahkan keyakinan kepadamu yang mana jiwa menjadi tenang kepadanya, dan dibutuhkan kepadanya dalam agama.”
            Shilah memiliki seorang misan perempuan bernama “Mu’âdzah Al-‘Adawiyah.”..Dia adalah seorang tabi’in sepertinya...di mana ia pernah bertemu dengan ummul mukminin ‘Aisyah RA dan mengambil ilmu darinya.
            Kemudian al-Hasan al-Bashri –semoga Allah mengharumkan ruhnya- berjumpa dengannya dan mengambil (ilmu) darinya.
Ia seorang wanita yang bertakwa dan suci...taat ibadah dan zuhud.
            Di antara kebiasaannya adalah apabila malam tiba, ia berkata, “Bisa jadi ini adalah malam terakhir bagiku, maka janganlah kamu tidur hingga pagi....” Dan apabila siang tiba, ia berkata, “Mungkin ini adalah hari terakhir bagiku, maka janganlah pinggang ini merasa tenang hingga sore.”
            Di musim dingin, ia mengenakan pakaian yang tipis sehingga rasa dingin menghalanginya untuk condong kepada tidur dan berhenti dari ibadah.
            Ia menghidupkan malamnya dengan shalat dan banyak beribadah.
            Apabila rasa kantuk mengalahkannya ia berjalan berputar-putar di rumahnya dan berkata, “Wahai jiwa, di depanmu ada tidur panjang...besok kamu akan tidur panjang di kuburan...entah di atas penyesalan atau di atas kesenangan. Maka pilihlah untuk dirimu wahai Mu’aadzah pada hari ini apa yang kamu sukai agar kamu besok menjadi apa.”
            Shilah ibn Asyam walaupun begitu kuat dalam beribadah dan begitu tinggi zuhudnya tidaklah ia membenci sunnah Nabinya SAW (dalam hal menikah), ia lalu meminang anak perempuan pamannya (misannya) “Mu’aadzah” untuk dirinya.
            Ketika hari disandingkannya ia kepada Shilah, keponakan laki-lakinya mengurusinya dan membawanya ke kamar mandi kemudian memasukkannya menemui istrinya di rumah yang diberi wewangian...
            Setelah keduanya bersama-sama, ia berdiri shalat dua rakaat sunnah, ia (istrinya) berdiri shalat dengan shalatnya dan mengikutinya. Kemudian sihir shalat menarik keduanya hingga keduanya berlanjut shalat bersama hingga fajar menjadi terang.
            Di pagi harinya, keponakannya datang menemuinya dan berkata, “Wahai paman, anak perempuan pamanmu telah disandingkan kepadamu, lalu kamu berdiri shalat sepanjang malam dan kamu meninggalkannya.”
            Ia menjawab, “Wahai anak saudaraku...sesungguhnya kemarin kamu telah memasukkan aku ke sebuah rumah yang dengannya kamu telah mengingatkan aku kepada neraka...kemudian kamu memasukan aku ke tempat lain yang dengannya kamu mengingatkan aku kepada surga...Pikiranku terus saja memikirkan keduanya hingga pagi.”
            Anak muda itu berkata, “Apa itu wahai paman?!”
            Ia menjawab, “Sungguh kamu telah memasukkan aku ke kamar mandi, maka hawa panasnya telah mengingatkan aku akan panas neraka...kemudin kamu memasukkan aku ke rumah pengantin, sehingga bau harumnya mengingatkan aku kepada wangi surga...”
            Shilah ibn Asyam bukan hanya orang yang banyak khasyah kepada Allah dan banyak bertaubat, ahli ibadah dan zuhud semata. Disamping itu ia adalah seorang penunggang kuda (prajurit) yang kuat dan pahlawan yang berjihad.
            Sedikit sekali medan pertempuran yang mengenal seorang pemberani yang lebih kuat darinya...lebih kuat jiwanya...dan lebih tajam tebasan pedangnya. Sehingga para panglima muslimin berlomba-lomba untuk menariknya kepada (pasukan) mereka.
            Setiap dari mereka ingin memperoleh kemenangan dengan keberadaannya di perkemahannya, agar dengan karunia keberaniannya ia memetik kemenangan besar yang dicita-citakan.
            Ja’far ibn  Zaid  meriwayatkan, ia menuturkan, “Kami keluar dalam suatu peperangan. Dan bersama kami ada Shilah ibn Asyam dan Hisyam ibn ‘Aamir...Ketika kami telah bertemu musuh, Shilah dan sahabatnya melesat dari barisan kaum muslimin dan keduanya menerobos kumpulan musuh, menusuk dengan tombak dan membabat dengan pedang, sehingga keduanya memberi pengaruh yang besar terhadap front depan pasukan. Maka sebagian panglima musuh berkata kepada sebagian yang lain, “Dua orang tentara muslimin telah menurunkan (menimpakan) kepada kita hal seperti ini, bagaimana jadinya apabila mereka seluruhnya memerangi kita? Tunduklah kalian kepada hukum muslimin dan tunduklah dengan taat kepada mereka.”
            Pada tahun 76 H, Shilah ibn Asyam keluar dalam sebuah peperangan bersama pasukan muslimin menuju negeri Maa waraaun nahri* dan ia ditemani oleh anaknya.
            Ketika kedua pasukan saling berhadapan, dan perang semakin berkecamuk. Berkatalah Shilah kepada anaknya, “Wahai anakku...majulah dan perangilah musuh-musuh Allah sehingga jika kamu syahid, aku akan mengharap pahalanya dari Allah Dzat yang tidak akan pernah hilang titipan-titipan di sisi-Nya.”
            Pemuda tersebut melesat memerangi musuh layaknya anak panah yang melesat dari busurnya, ia terus saja bertempur hingga jatuh tersungkur syahid.
            Tidak berlangsung lama, sehingga ayahnya pergi mengikutinya. Ia terus berjihad sehingga mati syahid di sampingnya.
            Ketika berita kematian keduanya sampai ke Bashrah, para wanita segera menemui “Mu’aadzah al-Adawiyah” untuk menghiburnya. Ia lalu berkata kepada mereka, “Apabila kalian datang untuk mengucapkan selamat kepadaku, maka selamat datang atas kalian...namun apabila kalian datang untuk hal lain, maka kembalilah dan semoga kalian dibalasi dengan kebaikan...”
Semoga Allah menjadikan wajah-wajah yang mulia ini berseri...
Dan semoga Allah membalasinya dengan kebaikan atas Islam dan Muslimin.
Sejarah manusia tidak mengenal yang lebih bertakwa dan lebih suci darinya.

CATATAN KAKI:

* Negeri Maa Waraun Nahri adalah negeri-negeri yang saat ini terletak di Turkistan yang di jajah oleh Rusia dan menghitungnya bagian dari negerinya


 

















XV
IMAM ASY-SYAFI'I

NAMA DAN NASABNYA

            Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya. Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga
            Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda. Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”
Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.

GELARNYA

            Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah.

KELAHIRAN DAN PERTUMBUHANNYA

            Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.

TEMPAT KELAHIRANNYA

            Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
            Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
            Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.

PERTUMBUHAN DAN KEGIATANNYA DALAM
MENCARI ILMU

            Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.
            Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
            Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat. Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
            Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.

PENGEMBARAANNYA DALAM MENUNTUT ILMU

            Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra. Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya. Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
            Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya.
            Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
            Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
            Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
            Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.

KEMUNCULAN SOSOK DAN MANHAJ (METODE) FIQIHNYA

            Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya. Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
            Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
            Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany. Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.
            Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya. Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah). Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian. Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyastetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.

AQIDAHNYA

`Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah). Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
            Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.
            Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])

SYA’IR-SYA’IRNYA

            Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.” Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,

SYA’IR ZUHUD

Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?

SYA’IR AKHAQ

Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang


TAWADLU’, WARA’ DAN ‘IBADAHNYA

            Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
            Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”
            Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?” Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
            Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.

            Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
            Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”
            Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.
Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.
            Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
            Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan

PARA PEMBELANNYA

            Rasanya, tidak ada seorang pun yang diberi kemudahan oleh Allah di dalam menuntut ilmu, yang tidak mengetahui sosok satu ini. Sosok salah seorang ulama di antara empat madzhab terkenal di muka bumi ini, bila tidak dikatakan, yang paling menonjol dan memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan ulama madzhab lainnya.
            Dialah, Imam Asy-Syafi’i yang madzhabnya lahir setelah melewati fase pematangan dari dua madzhab sebelumnya yang boleh dikatakan berbeda pandangan di dalam banyak hal. Tulisan sederhana di dalam lembaran terbatas ini, dimaksudkan agar kita dapat mengenal lebih dekat lagi terhadap sosok yang ulama satu ini, terutama tentang pembelaan beliau terhadap sunnah Rasulullah, sehingga mereka yang selalu menisbatkan dirinya kepada beliau dapat mengeta-hui secara persis sosok beliau dan tidak hanya sekedar menyatakan bermadz-hab ‘Syafi’i’ alias menisbatkan pendapat-nya kepada beliau, tetapi jauh dari sikap beliau di dalam berpegang teguh kepada As-Sunnah dan memberantas bid’ah. Dengan begitu, kita telah memberikan hak beliau sebagaimana layaknya dan tidak menzhalimi apalagi menisbatkan diri kepadanya secara dusta. Di sini juga perlu dipilah antara istilah madzhab Asy-Syafi’i (dinisbat-kan kepada Imam Asy-Syafi’i, sang Imam) dan madzhab Asy-Syafi’iyyah (dinisbatkan kepada pendapat para pengikut Imam Asy-Syafi’i dan belum tentu pendapat sang Imam).

PEMBELAANNYA TERHADAP AS-SUNNAH

            Imam Asy-Syafi’i dijuluki oleh kalangan Ahlu Al-Hadits sebagai Nashir As-Sunnah (pembela As-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.
            Di masa hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritas selalu menyerang As-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari As-Sunnah, secara keseluruhan. Ke dua, tidak menerima As-Sunnah kecuali bila semakna dengan Al-Qur’an. Ke tiga, menerima As-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak Hadits Ahad.
            Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas. Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari Al-Qur’an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok ke dua, bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama.
            Sedangkan terhadap kelompok ke tiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid (tepat) dan detail terperinci. Di antara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:
  • Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat memperca-yai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
  • Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits Ahad, tetapi meskipun demi-kian, Asy-Syari’ (Allah Subhanahu wa Ta'ala ) tetap mewajibkan hal itu.
  • Nabi membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampai-kan apa yang mereka dengar tersebut, meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,
  • “Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya”. (H.R. Abu Daud)
  • Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah n secara individu-individu dan tidak menyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah di antara bantahan beliau di dalam menegaskan perlunya menerima Hadits Ahad.

SEDANGKAN UCAPAN-UCAPAN BELIAU TENTANG PERLUNYA BERPEGANG TEGUH KEPADA AS-
SUNNAH, DI ANTARANYA ADALAH:

            “Seseorang sudah pasti kehilangan satu sunnah dari Rasulullah dan akan jauh darinya, maka betapa pun perkataan yang telah aku katakan atau suatu prinsip yang telah aku gariskan di dalamnya yang berasal dari Rasulullah namun bertentangan dengan apa yang aku ucapkan; maka ucapan (yang harus dipegang) adalah apa yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam , dan ia adalah peganganku (pendapatku juga)”.
            “Kaum Muslimin bersepakat (secara ijma’) bahwa barangsiapa yang sudah jelas baginya suatu sunnah (hadits) dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam ; maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya lantaran ucapan seseorang”. (Di dalam riwayat yang lain terdapat, “…maka ikutilah ia (hadits tersebut) dan jangan menoleh lagi kepada ucapan/pendapat seseorang”)
            “Bila di dalam kitabku kalian mendapatkan hal yang bertentangan dengan sunnah/hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam ; maka berpeganglah dengan sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan tinggalkan apa yang telah aku ucapkan (pendapatku) tersebut”
            “Bila sesuatu (hadits) shahih, maka ia adalah madzhab/pendapatku
            “Kalian (diungkapkan di hadapan Imam Ahmad bin Hanbal dan para shahabatnya-pen) lebih mengetahui perihal hadits dan para periwayatnya daripada aku; bila ada hadits yang shahih, maka beritahukanlah kepadaku apa pun ia, baik (berasal) dari seorang dari Kufah, Bashrah atau Syam, hingga aku bisa menemuinya bila (hadits tersebut memang) shahih”

            “Setiap masalah yang di dalamnya terdapat hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam menurut Ahli Hadits (tetapi) bertentangan dengan apa yang aku katakan (pendapatku); maka aku rujuk darinya (mencabut pendapatku dari masalah tersebut), baik selagi aku masih hidup ataupun setelah aku mati”
            “Setiap apa yang aku ucapkan (pendapatku); lantas ada hadits dari Nabi n yang shahih bertentangan dengan ucapan/pendapatku tersebut, maka hadits Nabi lebih utama (untuk diikuti) dan janganlah kalian bertaqlid kepadaku”
            “Setiap hadits yang berasal dari Nabi , maka ia adalah ucapan/pendapatku meskipun kalian tidak mendengarnya (langsung) dariku”
            Dengan beberapa nukilan ucapan Imam Asy-Syafi’i diatas tentang perlunya berpegang kepada As-Sunnah, kiranya dapat menyentuh hati kita yang paling dalam, sehingga dapat bersikap seperti sikap beliau di dalam menerima hadits yang sudah jelas keshahihannya dan meninggalkan taqlid buta.
            Ucapan-ucapan tersebut juga mengisyaratkan bahwa hadits-hadits yang dijadikan hujjah oleh beliau bisa saja kalah kuat dari sisi kualitas dan ketepatan argumentasinya bila diban-ding dengan hadits-hadits yang belum sempat beliau dengar nantinya, dengan menegaskan bahwa hadits yang shahih itulah madzhab beliau, meskipun tidak pernah didengar dari beliau.
Semoga Allah membimbing kita ke jalan yang diridlai-Nya

IMAM SYAFI’I DAN PARA PENDENGKINYA

            Dihikayatkan  bahwa ada sebagian ulama terkemuka di Iraq yang merasa dengki dan iri hati terhadap Imam asy-Syafi’i dan berupaya untuk menjatuhkannya. Hal ini dikarenakan keunggulan Imam asy-Syafi’i atas mereka di dalam ilmu dan hikmah, di samping karena beliau mendapatkan tempat yang khusus di hati para penuntut ilmu sehingga mereka begitu antusias menghadiri majlisnya saja dan merasa begitu puas dengan pendapat dan kapasitas keilmuannya. Karena itu, para pendengki tersebut bersepakat untuk menjatuhkan Imam asy-Syafi’i. Caranya, mereka akan mengajukan beberapa pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki untuk menguji kecerdasannya dan seberapa dalam ilmunya di hadapan sang khalifah yang baik, Harun ar-Rasyid. Khalifah memang sangat menyukai Imam asy-Syafi’i dan banyak memujinya. Setelah menyiapkan beberapa pertanyaan tersebut, para pendengki tersebut memberitahu sang khalifah perihal keinginan mereka untuk menguji Imam asy-Syafi’i. Sang khalifah pun hadir dan mendengar langsung lontaran beberapa pertanyaan tersebut yang dijawab oleh Imam asy-Syafi’i dengan begitu cerdas dan amat fasih. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti berikut:

PERTANYAAN- 1
PARA PENDENGKI (SELANJUTNYA DISEBUT: PP) :

            Apa pendapatmu mengenai seorang laki-laki yang menyembelih seekor kambing di rumahnya, kemudian dia keluar sebentar untuk suatu keperluan lalu kembali lagi seraya berkata kepada keluarganya, “Makanlah oleh kalian kambing ini karena ia sudah haram bagiku.’ Lalu dijawab oleh keluarganya pula, “Ia juga haram bagi kami.” (bagaimana hal ini bisa terjadi.?-red.,)

IMAM ASY-SYAFI’I (SELANJUTNYA DISEBUT: IS):

            Sesungguhnya orang ini dulunya seorang yang musyrik, menyembelih kambing atas nama berhala, lalu keluar dari rumahnya untuk sebagian keperluan lalu diberi hidayah oleh Allah sehingga masuk Islam, maka kambing itu pun jadi haram baginya. Dan ketika mengetahui ia masuk Islam, keluarganya pun masuk Islam sehingga kambing itu juga haram bagi mereka.

PERTANYAAN –2
PP:
            Ada dua orang Muslim yang berakal minum khamar, lalu salah satunya diganjar hukum Hadd (dicambuk 80 kali-red.,) tetapi yang satunya tidak diapa-apakan. (kenapa bias demikian.?-red.,)

IS:
            Sesungguhnya salah seorang di antara mereka berdua ini sudah baligh dan yang satunya lagi masih bocah (belum baligh).

PERTANYAAN-3
PP:
            Ada lima orang menzinahi seorang wanita, lalu orang pertama divonis bunuh, orang kedua dirajam (dilempar dengan batu hingga mati-red.,), orang ketiga dikenai hukum hadd (cambuk seratus kali-red.,), orang keempat hanya dikenai setengah hukum hadd sedangkan orang kelima dibebaskan (tidak dikenai apa-apa). (Kenapa bisa demikian.?-red.,)

IS:
            Karena orang pertama tersebut telah menghalalkan zina sehingga divonis murtad dan wajib dibunuh, orang kedua adalah seorang yang Muhshan (sudah menikah), orang ketiga adalah seorang yang Ghairu Muhshan (belum menikah), orang keempat adalah seorang budak sedangkan orang kelima adalah seorang yang gila.

PERTANYAAN-4
PP:
            Seorang laki-laki mengerjakan shalat, lalu tatkala memberi salam ke kanan isterinya menjadi ditalak, tatkala memberi salam ke kiri batallah shalatnya serta tatkala melihat ke langit, dia malah wajib membayar 1000 dirham. (kenapa bisa begitu.?-red.,)
IS:
            Tatkala memberi salam ke kanan, ia melihat seseorang yang telah ia nikahi isterinya saat dia menghilang (dalam pencarian), maka ketika ia melihatnya (suami lama isterinya tersebut) sudah hadir, ditalaklah isterinya tersebut dan tatkala menoleh ke arah kirinya, dia melihat ada najis sehingga batallah shalatnya, lalu ketika menengadah ke langit, dia melihat bulan sabit telah nampak di sana sementara ia punya hutang sebesar 1000 dirham yang harus dibayarnya pada awal bulan begitu nampak bulan sabit tersebut (karena dia harus membayar hutang tersebut pada awal bulan hijriah.,).

PERTANYAAN-5
PP:

            Ada seorang imam melakukan shalat bersama empat orang jama’ah di masjid, lalu masuklah seorang laki-laki dan ikut melakukan shalat di samping kanan sang imam. Tatkala imam memberi salam ke kanan dan melihat orang tersebut, maka ia wajib dieksekusi mati sedangkan empat orang yang bersamanya harus dihukum cambuk sedangkan masjid tersebut wajib dihancurkan, (bagaimana bisa demikian.?.,)

IS:
            Sesungguhnya lelaki yang datang itu dulunya memiliki seorang isteri, lalu dia bepergian dan meninggalkannya (mantan isterinya tersebut) di rumah saudaranya lantas si imam ini membunuh saudaranya tersebut dan mengklaim bahwa perempuan itu adalah isteri korban yang dikawininya (padahal ia adalah saudara perempuan si korban-red.,) lantas ke-empat orang yang melakukan shalat bersamanya itu bersaksi atas hal itu (bersaksi dusta-red.,), sedangkan masjid tersebut dulunya adalah rumah si korban (saudara laki-laki si wanita yang jadi isterinya-red.,) lalu dijadikan oleh si imam sebagai masjid (sehingga wajib dihancurkan,).

PERTANYAAN- 6
PP:
            Apa pendapatmu mengenai seorang laki-laki yang memiliki budak namun melarikan diri, lalu orang ini berkata, “Dia bebas (merdeka) jika aku makan, hingga aku menemukannya (alias: aku tidak akan makan hingga bisa menemukannya dan bila aku ternyata makan sebelum menemukannya, maka status budak tersebut adalah bebas/merdeka-red.,), bagaimana jalan keluar baginya dari ucapannya tersebut?

IS:
            Ia hibahkan saja budak tersebut kepada sebagian anak-anaknya kemudian dia makan, kemudian setelah itu ia menarik kembali hibahnya tersebut.

PERTANYAAN- 7
PP:
            Ada dua orang wanita bertemu dengan dua orang anak laki-laki, lalu kedua wanita tersebut berkata, “Selamat datang wahai kedua anak kami, kedua suami kami dan kedua anak dari kedua suami kami.” (bagaimana gambarannya?.,)

IS:
            Sesungguhnya kedua anak laki-laki itu adalah dua anak dari masing-masing wanita tersebut, lalu masing-masing wanita itu menikah dengan anak laki-laki temannya (kawin silang-red.,), maka jadilah kedua anak laki-laki itu sebagai kedua anak mereka berdua, kedua suami mereka berdua dan kedua anak dari kedua suami mereka.

PERTANYAAN- 8
PP:
            Seorang laki-laki mengambil sebuah wadah air untuk minum, lalu dia hanya bisa meminum separuhnya yang halal baginya sedangkan sisanya menjadi haram baginya, (bagaimana bisa terjadi.?-red.,)

IS:
            Sesungguhnya laki-laki itu telah meminum separuh air di wadah, lalu ketika meminum separuhnya lagi ia mengalami ‘mimisan’ sehingga darah menetes ke wadah itu sehingga membuat darah bercampur dengan air. Maka, jadilah ia (sisanya tersebut) haram baginya.

PERTANYAAN- 9
PP:
            Ada seorang laki-laki memberi kantong yang terisi penuh dan telah disegel kepada isterinya, lalu ia meminta kepada isterinya tersebut untuk mengosongkan isinya dengan syarat tidak membuka, merobek, menghancurkan segel atau membakarnya sebab bila ia melakukan salah satu dari hal tersebut, maka ia ditalak. (apa yang harus dilakukan sang isteri.?-red.,)

IS:
            Sesungguhya kantong itu terisi penuh oleh gula atau garam sehingga apa yang harus dilakukan wanita hanyalah mencelupkannya ke dalam air hingga ia mencair sendiri.

PERTANYAAN- 10
PP:
            Seorang laki-laki dan wanita melihat dua orang anak laki-laki di jalan, lalu keduanya mencium kedua anak laki-laki tersebut. Dan tatkala keduanya ditanyai mengenai tindakan mereka itu, si laki-laki itu menjawab, “Ayahku adalah kakek dari kedua anak laki-laki itu dan saudaraku adalah paman keduanya sedangkan isteriku adalah isteri ayahnya.” Sedangkan si wanita menjawab, “Ibuku adalah nenek keduanya dan saudara perempuanku adalah bibinya (dari pihak ibu).” (siapa sebenarnya kedua anak itu bagi kedua orang tersebut.?-red.,)

IS:
            Sesungguhnya laki-laki itu tak lain adalah ayah kedua anak laki-laki itu sedangkan wanita itu adalah ibu mereka berdua.
PERTANYAAN- 11
PP:
            Ada dua orang laki-laki berada di atas loteng rumah, lalu salah seorang dari mereka jatuh dan tewas. Sebagai konsekuensinya, isteri orang yang tewas tersebut menjadi haram bagi temannya yang satu lagi. (bagaimana ini bisa terjadi.?-red.,)
IS:
            Sesungguhnya laki-laki yang jatuh lalu tewas itu adalah orang (majikan/tuan) yang telah menikahkan putrinya dengan budaknya yang bersamanya di atas loteng tersebut (yang selamat), maka tatkala ia tewas, putrinya tersebut mewarisinya sehingga menjadi pemilik budak yang tidak lain suaminya tersebut, maka jadilah ia (putri majikannya tersebut) haram baginya. Sampai di sini, sang khalifah Harun ar-Rasyid yang menghadiri perdebatan tersebut tidak mampu menyembunyikan rasa kagumnya terhadap kecerdasan Imam asy-Syafi’i, spontanitasnya, kebagusan pemahamannya dan keindahan ilmunya seraya berkata, “Maha suci Allah atas karunianya kepada Bani ‘Abdi Manaf; engkau telah menjelaskan dengan baik dan menafsirkan dengan begitu menawan serta mengungkapkan dengan begitu fasih.”
Maka berkatalah Imam asy-Syafi’i, “Semoga Allah memanjangkan umur Amirul Mukminin. Aku mau mengajukan kepada para ulama tersebut satu pertanyaan saja yang bila mereka dapat menjawabnya, maka alhamdulillah sedang bila tidak bisa, aku berharap Amirul Mukminin dapat mengekang keusilan mereka terhadapku.”
            “Ya, itu hakmu, silahkan ajukan pertanyaanmu kepada mereka, wahai asy-Syafi’i,?” kata sang khalifah
            “Ada seorang laki-laki yang meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak 600 dirham namun saudara wanitanya hanya mendapatkan bagian 1 dirham saja dari warisan tersebut, bagaimana cara membagikan warisan tersebut,?” tanya asy-Syafi’i. Maka, masing-masing dari para ulama tersebut saling memandang satu sama lain begitu lama namun tidak seorang pun dari mereka yang mampu menjawab satu pertanyaan tersebut sehingga tampak keringat membanjiri jidat mereka. Dan setelah begitu lama mereka hanya terdiam, berkatalah sang khalifah, “Ayo, katakan kepada mereka apa jawabannya.!”
            “Orang tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris; dua anak perempuan, seorang ibu, seorang isteri, dua belas orang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Jadi, dua anak perempuannya itu mendapatkan dua pertiganya, yaitu 400 dirham; si ibu mendapatkan seperenam, yaitu 100 dirham; isteri mendapatkan seperdelapan, yaitu 75 dirham; dua belas saudara laki-lakinya mendapatkan 24 dirham (masing-masing 2 dirham) sehingga sisanya yang satu dirham lagi itu menjadi jatah saudara perempuannya tersebut,” jawab Imam asy-Syafi’i setelah orang-orang yang ingin menjatuhkannya di hadapan khalifah yang amat mencintainya itu berbuat nekad terhadapnya.
            Dan  jawaban Imam asy-Syafi’i tersebut membuat sang khalifah tersenyum seraya berkata, “Semoga Allah memperbanyak pada keluarga besarku orang sepertimu.”
            Lalu beliau memberi hadiah kepada Imam asy-Syafi’i sebanyak 2000 dirham. Hadiah itu diterimanya, lalu dibagi-bagikannya kepada para pelayan istana dan para pengawal.


 
















.XVI
SYAIKH ABD. QODIR AL-JAILANI

            Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang 'alim di Baghdad. Biaograf beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir AlJailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga denganKailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau AlKailani atau juga Al Jiliy. Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib,
pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj. Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masihmuda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama' seperti Ibnu Aqil,
Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama'. Suatu ketika Abu Sa'ad Al-Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul
Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh.
            Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan. Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama' terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga
Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.
            Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir,beliau menjawab, " kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masakehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian
terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untukmenyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalatfardhu." Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan
sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. 1) Beliau adalah seorang 'alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal
banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yangmembuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantara perkataan
Imam Ibnu Rajab ialah, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik 'ulama dan
para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi adaseorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri ( orangMesir ) 2)  mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar ( kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika
dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk beregang dengannya, sehingga aku meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telahmansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi
riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara
yang jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan danperkataan yang batil tidak berbatas.3)  semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan
bahwa Al Kamal Ja'far Al Adfwi4)  telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."5)   Imam Ibnu Rajab juga berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani
rahimahullah memiliki pendapat memiliki pendapat yang bagus dalam masalahtauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang
terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-oran yang menyelisihi sunnah ." Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, " Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas 'arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu." Kemudian
beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata " Sepantasnyamenetapkan sifat istiwa' ( Allah berada diatas 'arsyNya ) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah
diatas arsys."6) Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir AlJailani, " Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali ( kekasih ) yang tidakberada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?" Maka beliau menjawab, "
Tidak pernah ada dan tidak akan ada."7)
            Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf. Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhabini pada masa hidup beliau."
            Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih
dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratusribu orang telah bertaubat."
            Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatanSyeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "
Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan  atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian
perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ).
            Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh
yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi ".
            Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidah beliau  ( Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah.8)  Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat
Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dankelompok lainnya dengan manhaj Salaf."9          Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang 'alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a'lam bishshawwab.


            Kesimpulannya beliau adalah seorang 'ulama besar. Apabila sekarang inibanyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah n, maka hal ini merupakan kekeliruan. Karena Rasulullah n adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini
juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari'atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang
berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo'a kepada selain Allah Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya
Disamping ( menyembah ) Allah.
( QS. Al-Jin : 18 )
            Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para 'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari'ah.


            Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kitasehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Wallahu a'lam bishshawab.



 














DAFTAR PUSTAKA
  1. Hayaah at-Taabi’iin karya Dr. Abdurrahman Ra`fat al-Basya, Jld.VI, h.127-144)
  2. Majalah Tashfia, edisi 03/2006, hal.63-64)
  3. Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli, cet II 1397 H/1977 M. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah-Dimasyq. hal. Depan.
  4. Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, Diambil dari materi ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsayd Surabaya dengan judul A’lam Dakwah Salafiyah Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari]
  5. Majalah As Sunnah
  6. Al Fahrasat. Ibnu Nadim halaman 268.
  7. Tarikh Baghdad. Al Khatib 2/243.
  8. Tabaqatul Hanabilah. Ibnu Abi Ya’la halaman 332
  9. Fahrasah Ibni Khairil Isybaili. Halaman 285-286.
  10.   Wafiyatul A’yan. Ibnu Khukan 4/292.
  11.  Mu’jamul Buldan. Yaqut Al Hamawi 1/51.
  12.  Siyar A’lamin Nubala’. Adz Dzahabi 16/133.
  13. Thabaqatus Syafi’iyah. Al Isnawi 1/50.
  14.  Al ‘Aqduts Tsamin. Al Fasi 2/4.
  15.  Thabaqatul Hufadh. As Suyuthi halaman 378.
  16.  Syajaratudz Dzahab. Ibnul ‘Imad 3/35.
  17. Maraji’ :
    Al Ghuraba’ minal Mukminin. Al Ajurri, tahqiq Ramadlan Ayyub.
  18.  Kitab Thabaqât asy-Syâfi'iyyah, karya al-Asnawiy, (I:44).
  19.  kitab al-A'lâm karya az-Zirakliy, (I:327)
  20. Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, Penerbit Darus Shahabah Lith-Thiba'ah wan Nasyr, Bairut, Libanon)
  21. Tarikh Al Baghdad, karya Al Khatib Al Baghdadi
  22. Siyar A'lam An Nubala kaya Imam Adz Dzahabi
  23. Majalah as-Sunnah, no.02/Th.I, Jumada Tsani-Rajab 1413 H/Desember 1992 M, diterjemahkan dan disusun oleh Ahmas Faiz dengan sedikit perubahan)
  24. Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh, hal. 5-7
  25. Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, Diambil dari materi ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsayd Surabaya dengan judul A’lam Dakwah Salafiyah Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari
  26. Mi’ah Qishshah Wa Qishshah karya Muhammad Amin al-Jundi, Juz II, hal.40-42
  27. Pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy
  28.  Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibn Sa’d: 7/134
  29.  At-Tarikhul Kabir: 4/321
  30.  Al-Kuna: 2/13
  31.  Al-Jarh wat Ta’diil: 4/447
  32.  Hilyatul Auliyaa: 2/237
  33.  Usdul Ghaabah: 4/34
  34.  Tarikhul Islam: 3/19
  35.  Al-Bidayah wan Nihayah: 9/15
  36.  Al-Ishabah: 2/200
  37.  Thabaqat Khalifah dan Shifatush Shafwah oleh Ibnul Jauzi
  38. asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
  39.  I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
  40.  Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
  41. Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
  42. Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
  43. Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
  44.  Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i
  45.  Abady, Abu Ath-Thayyib, Syamsul Haq Al-‘Azhim,’Aun Al-Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud.
  46. Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah
  47. Ad-Daqr, ‘Abdul Ghaniy, Al-Imam Asy-Syafi’iy; Faqih As-Sunnah Al-Akbar.
  48.  Al-Albany, Muhammad Nashiruddin, Shifatu Shalat An-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam
  49. Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fi Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, Juz.II, h.3-10
  50.     Siyar A'lamin Nubala XX/442
  51. Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi AsySyath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduhberdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.
  52.  Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati,dan sebagainya.
  53.   Nama lengkapnya ialah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452
  54.  Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar,
    Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.6)     At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515
  55.  At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516.
  56.  Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94.
  57. At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah
    1415 H / 8 April 1995 M.